Sabtu, 19 Mei 2012

MENANTI KATA-KATA (BAG-2)


Siang itu aku tak sabar menanti pelajaran terakhir usai. Semalam sebelum tidur aku telah memutuskan untuk kembali mengunjungi Tina dan Neti. Ketika bel akhir pelajaran berbunyi aku bergegas pulang. Tak kupedulikan panggilan Lulu yang memintaku untuk menunggunya. Sampai di rumah aku cepat-cepat berganti pakaian lalu menyambar buku cerita dan majalah yang telah kusiapkan sejak pagi.  
            Balai desa masih seperti kemarin penuh orang-orang yang mengungsi. Bahkan sepertinya saat ini bertambah padat karena ada banyak orang yang datang untuk memberikan bantuan. Aku tak mau mengganggu kesibukan mereka jadi akupun langsung mendekati tempat Tina sedang berbaring dengan keluarganya.
            Aku menyapa Tina dan keluarganya. Kali ini mereka menyambutku dengan senyum. Tapi saat aku menegur Neti yang masih menggenggam erat tangan Tina, ia hanya diam. Aku kemudian mengeluarkan majalah serta buku-buku ceritaku. Tina yang begitu antusias melihat bawaanku buru-buru memilih dan langsung membacanya. Sementara Neti tak tertarik sedikitpun. Berkali-kali aku mencoba mengajaknya bicara namun tak ada jawaban darinya. Bahkan sekedar menggeleng atau mengganggukpun tidak. Hanya matanya yang besar dan tampak sedih itu terus memandangku tanpa berkedip.
            Mendadak muncul ideku untuk membacakan cerita untuknya. Akupun sengaja memilih cerita yang lucu. Aku berharap Neti akan tertawa atau sekedar tersenyum saat mendengarnya. Namun usahaku sia-sia. Bukan Neti yang tertarik dengan ceritaku ketika aku membacanya keras-keras melainkan anak-anak lain yang kemudian mendekati dan mengelilingiku. Aku tak patah semangat. Aku lalu menggerakkan anggota badanku bahkan berganti-ganti suara sampai semua anak tertawa. Hanya Neti yang tidak tersenyum. Hampir saja airmataku mengalir karena aku gagal menghiburnya tapi aku berusaha keras menahannya.
            Ketika pulang aku merasa berat sekali. Aku sedih karena tak bisa membuat Neti ceria seperti teman-teman lainnya. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk berkunjung setiap hari. Kadangkala aku datang membawa buku gambar lalu mengajak menggambar bersama. Saat lain aku mengajak semua anak menyanyi. Tetapi paling sering aku membacakan cerita untuk mereka. Dan usahaku tidak sia-sia. Perlahan-lahan Neti mulai dekat denganku. Setiap kali aku datang ia akan menghampiri dan duduk disebelahku. Meski Neti kini mulai berani menggenggam tanganku tapi masih saja ia tak mau bersuara. Padahal banyak anak lain yang berbagi cerita denganku. Sampai-sampai aku begitu menanti kata-kata keluar dari bibirnya.
*****
            Hari ini aku gembira karena Tina sudah mulai sekolah kembali. Dan aku sungguh lega mengetahui dirinya telah meninggalkan Balai Desa. Sekarang ia tinggal di rumah neneknya bersama adik serta kedua orang tuanya.
            “Neti bagaimana?” tanyaku saat kami sedang menikmati bekal bersama.
            “Ia masih di pengungsian,” beritahu Tina. “Sebetulnya aku tidak tega meninggalkannya sendirian disana. Tapi aku tak bisa mengajaknya,” sambung Tina sedih.
             “Ia masih saja diam?” tanyaku prihatin.
            Tina hanya menggangguk.
            “Kasihan, ia pasti kesepian,” desahku iba. “Oya, pulang sekolah nanti aku mau menjenguk Neti. Kamu mau ikut?” ajakku.
            Tina menggeleng. “Maaf, Ta. Nenekku tadi pesan supaya aku cepat-cepat pulang, soalnya kami masih harus beres-beres rumah. Sepertinya kami akan lama tinggal disana.”
            “Baiklah,” ujarku mengerti.
            Siangnya aku pergi dengan terburu-buru. Aku tak sabar ingin cepat-cepat bertemu Neti. Ketika melihatnya aku langsung memeluknya tapi Neti tidak membalas pelukanku. Wajahnya sangat sedih dan pucat hingga aku tak tahu lagi harus berbuat apa.
            “Kamu kenapa?” tanyaku sambil memeluk tubuhnya yang begitu dingin. “Apa Neti sakit?”
            Neti hanya diam termangu.
            “Kak Tata,’ panggil seseorang, “Bacain cerita lagi, dong,” pintanya kemudian.
            “Maaf ya, tadi kakak nggak sempet pulang. Jadi kakak lupa nggak bawa majalah,” ujarku.
            “Yah,” anak itu tampak kecewa.
            “Oh ya, kamu tahu tidak semalam Neti tidur dengan siapa?” tanyaku padanya.
            “Aku nggak tahu kak, soalnya aku tidurnya disana,” ia menunjuk arah belakang Balai Desa.
            “Aku tahu kak,” celutuk sebuah suara tiba-tiba.
            Aku menoleh dan melihat Diva yang sering bermain dengan Tina telah berada disampingku. “Semalam Neti tidur sendirian.”
            “Kok sendiri,” ujarku kaget.
            “Iya. Soalnya ia nggak mau diajak siapa-siapa,” sambungnya lagi.
            “Memangnya Neti nggak punya saudara, ya,” desakku ingin tahu.
            Diva menggeleng. “Kayaknya, sih nggak punya. Ayahku bilang mungkin Neti terpaksa dititipkan ke Panti Asuhan,” beritahunya kemudian.
            Aku menatap Neti dengan iba. Kalau Neti sampai harus dititipkan ke Panti Asuhan ia pasti akan semakin sedih. Disini saja ia begitu diam dan selalu murung. “Bagaimana nanti ia di Panti asuhan?” bisikku gundah.



2 komentar:

  1. Aku boleh bantu promotin blog ini....? karena menurutku blog ini bagus dan patut untuk ditiru oleh seluruh anak indonesia, sip

    BalasHapus
  2. Ciee,.. Kak sitaaa,..Ada yang Mau Promotin Blog nya tuh :D

    BalasHapus