Siang
itu aku tak sabar menanti pelajaran terakhir usai. Semalam sebelum tidur aku telah
memutuskan untuk kembali mengunjungi Tina dan Neti. Ketika bel akhir pelajaran
berbunyi aku bergegas pulang. Tak kupedulikan panggilan Lulu yang memintaku
untuk menunggunya. Sampai di rumah aku cepat-cepat berganti pakaian lalu
menyambar buku cerita dan majalah yang telah kusiapkan sejak pagi.
Balai desa masih seperti kemarin
penuh orang-orang yang mengungsi. Bahkan sepertinya saat ini bertambah padat
karena ada banyak orang yang datang untuk memberikan bantuan. Aku tak mau
mengganggu kesibukan mereka jadi akupun langsung mendekati tempat Tina sedang
berbaring dengan keluarganya.
Aku menyapa Tina dan keluarganya.
Kali ini mereka menyambutku dengan senyum. Tapi saat aku menegur Neti yang
masih menggenggam erat tangan Tina, ia hanya diam. Aku kemudian mengeluarkan
majalah serta buku-buku ceritaku. Tina yang begitu antusias melihat bawaanku buru-buru
memilih dan langsung membacanya. Sementara Neti tak tertarik sedikitpun. Berkali-kali
aku mencoba mengajaknya bicara namun tak ada jawaban darinya. Bahkan sekedar
menggeleng atau mengganggukpun tidak. Hanya matanya yang besar dan tampak sedih
itu terus memandangku tanpa berkedip.
Mendadak muncul ideku untuk
membacakan cerita untuknya. Akupun sengaja memilih cerita yang lucu. Aku
berharap Neti akan tertawa atau sekedar tersenyum saat mendengarnya. Namun
usahaku sia-sia. Bukan Neti yang tertarik dengan ceritaku ketika aku membacanya
keras-keras melainkan anak-anak lain yang kemudian mendekati dan
mengelilingiku. Aku tak patah semangat. Aku lalu menggerakkan anggota badanku
bahkan berganti-ganti suara sampai semua anak tertawa. Hanya Neti yang tidak
tersenyum. Hampir saja airmataku mengalir karena aku gagal menghiburnya tapi
aku berusaha keras menahannya.
Ketika pulang aku merasa berat
sekali. Aku sedih karena tak bisa membuat Neti ceria seperti teman-teman
lainnya. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk berkunjung setiap hari. Kadangkala
aku datang membawa buku gambar lalu mengajak menggambar bersama. Saat lain aku
mengajak semua anak menyanyi. Tetapi paling sering aku membacakan cerita untuk mereka.
Dan usahaku tidak sia-sia. Perlahan-lahan Neti mulai dekat denganku. Setiap
kali aku datang ia akan menghampiri dan duduk disebelahku. Meski Neti kini
mulai berani menggenggam tanganku tapi masih saja ia tak mau bersuara. Padahal banyak
anak lain yang berbagi cerita denganku. Sampai-sampai aku begitu menanti
kata-kata keluar dari bibirnya.
*****
Hari ini aku gembira karena Tina
sudah mulai sekolah kembali. Dan aku sungguh lega mengetahui dirinya telah
meninggalkan Balai Desa. Sekarang ia tinggal di rumah neneknya bersama adik serta
kedua orang tuanya.
“Neti bagaimana?” tanyaku saat kami
sedang menikmati bekal bersama.
“Ia masih di pengungsian,” beritahu
Tina. “Sebetulnya aku tidak tega meninggalkannya sendirian disana. Tapi aku tak
bisa mengajaknya,” sambung Tina sedih.
“Ia masih saja diam?” tanyaku prihatin.
Tina hanya menggangguk.
“Kasihan, ia pasti kesepian,”
desahku iba. “Oya, pulang sekolah nanti aku mau menjenguk Neti. Kamu mau ikut?”
ajakku.
Tina menggeleng. “Maaf, Ta. Nenekku
tadi pesan supaya aku cepat-cepat pulang, soalnya kami masih harus beres-beres
rumah. Sepertinya kami akan lama tinggal disana.”
“Baiklah,” ujarku mengerti.
Siangnya aku pergi dengan terburu-buru.
Aku tak sabar ingin cepat-cepat bertemu Neti. Ketika melihatnya aku langsung
memeluknya tapi Neti tidak membalas pelukanku. Wajahnya sangat sedih dan pucat
hingga aku tak tahu lagi harus berbuat apa.
“Kamu kenapa?” tanyaku sambil
memeluk tubuhnya yang begitu dingin. “Apa Neti sakit?”
Neti hanya diam termangu.
“Kak Tata,’ panggil seseorang,
“Bacain cerita lagi, dong,” pintanya kemudian.
“Maaf ya, tadi kakak nggak sempet
pulang. Jadi kakak lupa nggak bawa majalah,” ujarku.
“Yah,” anak itu tampak kecewa.
“Oh ya, kamu tahu tidak semalam Neti
tidur dengan siapa?” tanyaku padanya.
“Aku nggak tahu kak, soalnya aku
tidurnya disana,” ia menunjuk arah belakang Balai Desa.
“Aku tahu kak,” celutuk sebuah suara
tiba-tiba.
Aku menoleh dan melihat Diva yang
sering bermain dengan Tina telah berada disampingku. “Semalam Neti tidur
sendirian.”
“Kok sendiri,” ujarku kaget.
“Iya. Soalnya ia nggak mau diajak
siapa-siapa,” sambungnya lagi.
“Memangnya Neti nggak punya saudara,
ya,” desakku ingin tahu.
Diva menggeleng. “Kayaknya, sih
nggak punya. Ayahku bilang mungkin Neti terpaksa dititipkan ke Panti Asuhan,” beritahunya
kemudian.
Aku menatap Neti dengan iba. Kalau
Neti sampai harus dititipkan ke Panti Asuhan ia pasti akan semakin sedih.
Disini saja ia begitu diam dan selalu murung. “Bagaimana nanti ia di Panti
asuhan?” bisikku gundah.
Aku boleh bantu promotin blog ini....? karena menurutku blog ini bagus dan patut untuk ditiru oleh seluruh anak indonesia, sip
BalasHapusCiee,.. Kak sitaaa,..Ada yang Mau Promotin Blog nya tuh :D
BalasHapus