Tampilkan postingan dengan label jalan-jalan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label jalan-jalan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 03 November 2015

AKTIVITAS MENGAMBIL TUAK DI TANA TORAJA

Toraja Bercerita

Siapa tak kenal Tana Toraja? Daerah yang berada di Sulawesi Selatan ini amat kondang berkat berbagai tempat wisatanya yang eksotik seperti Pallawa, Londa, Ke'te Kesu, Batu Tumonga, Lemo dan banyak lainnya. Selain itu ragam budaya juga ritual adatnya yang unik, khas, menarik bahkan telah mendunia yakni Rambu Solo, Rambu Tuka, Upacara Ma'nene', Mapasilaga Tedong juga atraksi Sisemba membuat wisatawan baik domestik maupun mancanegara selalu menjadikan Tana Toraja sebagai destinasi wisata yang tidak boleh dilewatkan.

Saat ini Tana Toraja tengah mengelar event pariwisata dan budaya Lovely Toraja yang bertemakan "Toraja Goes To The World Cultural Heritage". Pagelaran yang puncaknya akan diselenggarakan pada tanggal 09 November 2015 tersebut kabarnya akan dihadiri oleh duta besar dari berbagai negara. Event ini diharapkan mampu meningkatkan kunjungan wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri.

Selain berbagai tempat wisata dan ritual adat yang sangat khas, masyarakat Toraja juga dikenal memiliki berbagai aktivitas harian yang menarik seperti ma'kombongan, menanam dan menjemur padi, berkebun bahkan mengambil tuak merupakan kegiatan sehari-hari yang sudah menjadi rutinitas. Sebab bagi masyarakat Tana Toraja minum tuak sudah menjadi tradisi. Terlebih dalam setiap pesta adat, tuak menjadi minuman yang tidak pernah ditinggalkan.


Tuak - sumber gambar Mongabay

Tuak atau masyarakat Toraja sering menyebutnya dengan nama ballo merupakan minuman yang berasal dari cairan nira pohon enau yang memang sangat mudah dijumpai di daerah tersebut. Sejak jaman dahulu kala masyarakat Tana Toraja sudah lekat dengan ballo. Saat itu ballo sempat dijadikan sebagai minuman pelengkap di kala raja mengadakan pesta. Ballo juga menjadi minuman pembangkit keberanian dan semangat prajurit yang hendak maju berperang.

Kehadiran tuak di Tana Toraja saat inipun tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Ballo bisa ditemui dengan mudah. Penjualnya pun berbagai macam. Mulai dari pedagang tuak yang sengaja datang dari desa, penyadap nira yang menjualnya dalam jerigen, warung khusus ballo bahkan warung makan juga menyediakan minuman khas tersebut. Tua, muda, laki-laki dan perempuan di Tana Toraja menjadi penikmat tuak. Hingga terkenal ungkapan yang menyatakan "Tannia toraya ke tae na mangngiru" atau "Bukan orang Toraja jika tidak minum-minuman keras".

Bagi penduduk Tana Toraja, tuak diyakini mampu mengusir hawa dingin yang merasuk tubuh. Bahkan bagi sebagian orang minuman tersebut dianggap memiliki khasiat sebagai menambah tenaga. Sedangkan tuak yang disajikan dalam ritual adat umumnya berfungsi untuk mempererat tali persaudaraan, pencair suasana, mengakrabkan diri dengan orang lain juga sebagai ungkapan terima kasih dari tuan rumah kepada para tamu yang telah hadir. Jadi setiap kali sebuah keluarga menggelar upacara adat maka sebagai penghormatan para tamu akan meminum tuak yang disediakan.


Pohon Enau - sumber gambar  bp3.blogger.com

Namun untuk mendapatkan tuak tidak sembarang orang mampu melakukannya. Hanya pamba'ta atau orang yang menyaring tuak dari pohonnya saja yang mampu mendapatkannya. Itupun masih diperlukan pengetahuan khusus. Sebab tidak semua pohon enau mampu menghasilkan tuak.

Proses mengambil tuak sendiri diawali dengan cara memilih pohon enau yang matang. Tandanya yaitu pohon tersebut paling tidak berumur 7 tahun dan sudah keluar tangkai buahnya. Setelah buahnya berwarna hitam kecoklatan barulah pamba'ta mengayun buah tersebut. Selain diayun pamba'ta juga harus memukul-mukul tandan buah yang berada di atas pohon selama beberapa minggu agar kelak cairan nira dapat keluar dengan lancar.

Selesai mengayun dan memukul, pamba'ta akan memotong setengah dari tandan buah lalu dibersihkan dan diiris tipis serta dilumuri berbagai resep. Setelah itu ujungnya dibungkus dan didiamkan selama 2 atau 3 hari agar didapat tetesan nira yang berkualitas. Nira yang baru saja keluar biasanya berwarna putih, kental, sedikit berlendir dan rasanya manis. Untuk menjadi tuak Pamba'ta akan mencampur nira (misalnya dengan memberi kulit kayu) selama beberapa jam hingga akhirnya terciptalah minuman yang mengandung alkohol.

Untuk menampung nira seorang pamba'ta biasanya menggunakan wadah bambu yang diletakkan tepat di bawah cairan yang tengah menetes. Aktivitas pengambilan nira ini dilakukan 2 kali sehari yakni setiap pagi dan sore. Pamba'ta akan meninggalkan wadah bambu di pagi hari hingga sore harinya dia kembali untuk mengambil wadah bambu yang kini telah dipenuhi nira. Dan begitulah setiap hari seorang pamba'ta akan meninggalkan wadah bambunya agar bisa memanen nira.


Memotong tandan buah  - sumber gambar bp2.blogger.com

Tuak yang dihasilkan dari Tana Toraja sendiri memiliki rasa yang berbeda-beda tergantung cara pengolahannya. Seperti misalnya tuak pa'buli yang dalam proses pembuatannya diberi kulit kayu sehingga rasanya menjadi agak pahit dan warnanya tidak lagi putih melainkan kemerahan. Ada pula tuak balalo' yang cita rasanya kecut. Selain kedua macam tuak tersebut masih ada tuak dari bera juga palesan. Dan biasanya seorang pemba'ta mampu menebak rasa tuak hanya dengan mencium aroma atau melihat warnanya saja.

Dalam sebuah pesta adat yang digelar oleh masyarakat Toraja tuak tidak hanya tersaji di tengah-tengah pesta. Tetapi mulai dari persiapan hingga pesta berakhir tuak selalu tersedia. Dari banyak sedikitnya tuak yang disajikan kita bisa menilai bagaimana status sosial sang tuan rumah. Seseorang yang memiliki status sosial ekonomi tinggi akan menyediakan tuak dalam jumlah lebih banyak dari warga yang status sosialnya lebih rendah. Demikian pula tokoh masyarakat akan mendapatkan bambu berisi tuak yang diantarkan langsung ke hadapannya. Berbeda dengan masyarakat kebanyakan yang harus mengambil sendiri jika mereka ingin menikmati segelas tuak.


Tradisi minum tuak dalam pesta adat - sumber gambar shamawar

Dan sebagai warga negara Indonesia tentulah kita bangga dengan berbagai kebiasaan masyarakat Tana Toraja berikut segala ritual budayanya yang amat unik, menarik dan khas. Salah satu media online yang saat ini terus menyuarakan berbagai informasi mengenai budaya dan pariwisata Tana Toraja adalah Toraja Bercerita. Dengan lebih mengenal serta memahami kebiasaan yang beraneka ragam tentulah kita akan semakin mencintai budaya negeri sendiri.


Jumat, 02 Oktober 2015

MENDAKI GUNUNG PRAU, MEWUJUDKAN IMPIAN MASA KECILKU


"Mengapa harus jauh-jauh jika hanya ingin melihat sang surya terbit? 
Bukankah setiap pagi mentari akan selalu datang dimanapun kita berada?
Sebenarnya apa yang kamu cari di sana?
Pengakuan?
Penaklukan?
Atau hanya sekedar ikut-ikutan?"

Sebuah pesan mampir di inbox facebookku hari itu. Sebelumnya aku sempat mengunggah foto-fotoku saat menikmati matahari terbit di Gunung Prau. Sungguh tak pernah terlintas jika akan mendapat tanggapan demikian.

Aku tidak hendak mencari pengakuan. Tidak pula ingin menaklukkan sesuatu. Pun bukan sekedar ikut-ikutan. Aku hanya ingin mewujudkan mimpiku untuk lebih dekat dengan alam. Mencintainya, memahaminya, berbicara padanya hingga perasaan untuk terus menjaga lingkungan semakin tertanam dalam jiwa.

Mentari pagi merekah di ufuk timur puncak Prau

Keinginan untuk mendaki sudah muncul sejak kecil. Bermula dari kebiasaanku duduk-duduk di ambang jendela kamar terpukau oleh Gunung Sindoro serta Sumbing yang menjulang tinggi hingga nyaris menyentuh langit. Hampir tiap malam aku mimpi terbang ke atas gunung. Mamaku tersenyum dan berkata aku tak mungkin bisa terbang. Puncak gunung itu hanya bisa dijangkau dengan kedua belah kakiku. Itupun bukan saat itu tetapi kelak ketika aku telah dewasa dan bisa menjaga diri sendiri.

Tahun demi tahun berlalu. Bukannya surut, keinginan untuk mendaki semakin tumbuh subur dalam hatiku. Sayangnya tak mudah mendapat ijin dari orangtuaku. Bukan mereka merendahkan kekuatan fisikku. Sejak kecil aku dan mama sudah sering berpetualang menjelajahi alam sekitar. Orangtuaku hanya khawatir aku belum bisa menjaga diri. Sebab mendaki gunung bukan sekedar melangkahkan kaki menuju puncak. Namun kita juga harus memahami medan dan mengerti arah. Mendaki juga bukan untuk selfie dan wefie yang berlebihan hingga melupakan keselamatan diri sendiri serta teman. Akan tetapi aku terus menyakinkan orangtuaku. Dan syukurlah mama akhirnya mengijinkan aku mendaki.

Pendaki memadati puncak Gunung Prau

Mendaki Gunung Prau - Dieng

Semangatku langsung membumbung tinggi. Aku kemudian mengajak sahabat-sahabatku untuk mendaki bersama. Tetapi kami sama sekali tidak memiliki pengalaman muncak. Beruntung sahabatku Kuuniy, memiliki saudara yang sudah sering mendaki bernama Mas Is. Untuk kami yang masih pemula Mas Is menyarankan gunung yang relatif mudah didaki, yakni Gunung Prau yang kebetulan berada tidak jauh dari tempat kami tinggal di Wonosobo.

Gunung Prau sendiri terletak di Dieng dan menjadi batas 3 kabupaten yakni Wonosobo, Batang dan Kendal. Tingginya yang hanya 2.565 meter di atas permukaaan laut atau 8.415 kaki ini menyebabkan puncaknya sering menjadi tujuan para pemula yang ingin menjajal kemampuan mendakinya untuk pertama kali.

Dari rencana berdua puluh akhirnya menyusut hanya tinggal enam orang yang akan mendaki. Beberapa temanku tidak mendapatkan ijin dari orangtua sementara teman-teman Mas Is mendadak berhalangan. Meski begitu semangat kami tidak lantas pupus. Beberapa hari sebelum berangkat Mas Is mengajak kami berkumpul, membahas berbagai hal mulai dari perlengkapan yang wajib dibawa sampai yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama mendaki.


Fajar menyinsing di puncak Prau

Perlengkapan Yang Perlu Dibawa Saat Mendaki 

Meski hanya semalam ternyata kami harus menyiapkan berbagai perlengkapan yang dibutuhkan saat mendaki. Tidak seperti tempat wisata lain yang segalanya bisa didapat dengan mudah, di puncak gunung semua serba terbatas. Jadi sebagai antisipasi kami harus membawanya dari bawah. Selain itu juga demi menjaga stamina dan keselamatan diri serta lingkungan.

Sebagai pemimpin Mas Is benar-benar menekankan kami untuk mencatat segala perlengkapan agar tidak tertinggal. Sebab jika hal itu sampai terjadi akan berakibat buruk baik untuk diri sendiri maupun tim.

Dan perlengkapan yang dibawa adalah sebagai berikut :
  • Tenda 
  • Matras
  • Kantong tidur 
  • Carrier atau tas ransel
  • Peralatan memasak (kompor dan sebagainya)
  • Peralatan makan dan minum 
  • Jaket gunung 
  • Baju untuk mendaki (sebaiknya yang ringan, mudah menyerap keringat dan tidak gampang sobek)
  • Sepatu gunung jika tidak ada pakailah sepatu yang nyaman dengan sol yang tidak licin 
  • Kaos tangan dan kaos kaki tebal
  • Senter atau head lamp berikut baterei cadangan
  • Masker atau bandana untuk menutup hidung dan mulut karena saat musim kemarau banyak debu
  • Kacamata karena banyak debu saat musim kemarau
  • Jas hujan bila musim hujan
  • Topi dan jika diperlukan bisa membawa pelindung telinga sebab di puncak anginnya cukup kencang
  • Tissue basah
  • Air yang cukup karena di Gunung Prau tidak terdapat sumber air 
  • Makanan dan minuman (atas saran Mas Is kami diminta membawa madu)  
  • Peralatan sholat
  • Obat-obatan pribadi
  • Kamera
  • Handphone
  • Powerbank
  • Baju ganti 
  • Uang 
  • Kartu identitas
  • Kantong untuk menampung sampah 

Menuju Patak Banteng

Jalur Menuju Puncak Gunung Prau

Untuk mencapai puncak Gunung Prau ada 3 jalur pendakian yakni :
  • Patak Banteng (waktu tempuh sekitar 2,5 - 3 jam)
  • Dieng Kulon (waktu tempuh sekitar 5 - 6 jam)
  • Kenjuran (waktu tempuh + 7 jam) 
Meski ada 3 tetapi jalur paling ramai dan menjadi favorit para pendaki ialah Patak Banteng. Walau sudah tahu medan Patak Banteng terjal dan menanjak terutama buat aku dan teman-teman yang baru pertamakali mendaki tetapi kami tetap ingin menjajal jalur tersebut karena pertimbangan waktu.

Akhirnya Sabtu, 29 Agustus 2015 aku dan kelima teman sepakat berkumpul di perempatan Kauman tempat mikrobus menuju Dieng biasa berhenti. Janji bertemu pukul 14.00 terpaksa mundur karena beberapa dari kami masih harus bersiap-siap. Jadi baru setengah 4 semua tiba di perempatan Kauman dan bergegas menuju mikrobus yang tengah ngetem di tepi jalan. Setelah menunggu penumpang hingga penuh, akhirnya kendaraanpun berangkat menuju Patak Banteng.

Jalur pendakian ke Gunung Prau

Menuju Desa Patak Banteng 

Desa Patak Banteng sangat mudah dicapai baik menggunakan kendaraan pribadi maupun umum. Jika memakai kendaraan pribadi ambillah jalur ke Dieng. Bila tidak tahu jalan kita bisa melihat papan petunjuk atau bertanya pada masyarakat sekitar. Para pendaki juga tidak perlu risau sebab kendaraan bisa dititipkan di basecamp Patak Banteng tentunya dengan membayar tarif yang telah ditentukan.

Untuk pendaki yang menggunakan transportasi umum ke Patak Banteng bisa menggunakan :

  • Pengguna mikrobus dari Purworejo bisa langsung minta berhenti di perempatan Kauman - Wonosobo dan tinggal berganti mikrobus yang menuju Dieng serta turun di Patak Banteng (di Pos Pendakian Gunung Prau - Balai Desa Patak Banteng).
  • Pendaki yang naik bis dari Semarang atau Magelang setiba di terminal Mendolo tinggal naik angkot jurusan Kertek - Wonosobo (angkot kuning dengan strip merah di bagian bawahnya menunggunya di tepi jalan raya karena angkot ini tidak masuk terminal) lalu turun di perempatan Kauman. Ongkos dari terminal ke perempatan Kauman Rp. 3.000,- / orang.
  • Sementara penumpang bis dari Purwokerto, Jakarta atau Bandung bisa turun di terminal Mendolo (tetapi nanti terpaksa kembali lagi ke Wonosobo karena terminal berada di luar kota) lalu naik angkot jurusan Kertek - Wonosobo dan turun di perempatan Kauman dengan ongkos Rp. 3.000,-/orang. Dan tinggal naik mikrobus jurusan Dieng serta turun di Patak Banteng tepat di depan Balai Desa. 
  • Penumpang bis dari Purwokerto, Jakarta atau Bandung bisa juga turun di perempatan Sapen (lampu merah dekat Kenteng) tempat bis jurusan Dieng biasa ngetem. Hanya di sini bis sering berhenti cukup lama. Jika tidak ingin menunggu naik saja angkot jurusan Sawangan - Wonosobo (angkot kuning dengan strip hitam di bagian bawah) atau angkot jurusan Leksono - Wonosobo (angkot kuning dengan strip ungu di bagian bawah). Ongkos perorang Rp. 2.500,- lalu turun di perempatan Kauman dan tinggal ganti mikrobus jurusan Dieng.

Ketentuan denda jika melanggar peraturan

Ketika tahu kami akan turun di Patak Banteng dan hendak mendaki Gunung Prau, kondektur mikrobus bertanya kami datang darimana. Saat Mas Is menjawab dari Wonosobo kami ditarik ongkos 13.000/orang (dalam perjalanan pulang kami hanya ditarik Rp. 11.000,-/orang). Dan bersamaan dengan kami ada beberapa pendaki lain yang berasal dari luar kota. Ternyata untuk mereka ongkosnya berbeda. Kondektur menarik uang sebesar Rp. 20.000,- untuk tiap orangnya. Wah ... begitu rupanya. Jadi buat teman-teman dari luar kota sebaiknya saat naik mikrobus dan hendak mendaki ke Gunung Prau kalian mengaku saja sebagai warga  kota Wonosobo. Biar lebih menghemat ongkos.

Perjalananku dari Wonosobo ke Patak Banteng tidak terlalu lama. Belum 1 jam kami telah sampai di Desa Patak Banteng. Di seberang jalan, di depan Balai Desa, telah tampak papan bertuliskan POS PENDAKIAN GUNUNG PRAU 2.565 mdpl PATAK BANTENG. Aku tersenyum. Bahagia karena impianku mendaki gunung sebentar lagi akan terwujud.

Di basecamp Patak Banteng

Di Basecamp Patak Banteng

Basecamp pendakian Patak Banteng bangunannya bercat hijau dengan poster bertuliskan BASECAMP PENDAKIAN GUNUNG PRAU 2.565 mdpl yang terpampang jelas. Ketika kami sampai tempat tersebut telah disesaki pendaki. Halaman basecamp juga tak kalah penuh oleh sepeda motor. Dari plat yang terlihat mereka bukan saja datang dari Wonosobo melainkan banyak pula kendaraan luar kota. Melihat antusias para pendaki membuat semangatku kian terlecut.

Di tempat ini kita harus melakukan proses registrasi. Karena banyak yang hendak naik gunung kami terpaksa antri. Kita wajib membeli tiket pendakian sebesar Rp. 10.000,-/orang serta mendaftarkan nama-nama rombongan yang hendak mendaki juga memberikan nomor handphone salah satu anggota. Setelah itu kami diberi tiket sebagai tanda bukti telah membayar juga peta dan ketentuan denda jika melanggar aturan di kawasan Gunung Prau.

Untuk pendaki yang membawa kendaraan pribadi bisa menitipkannya di sini dengan membayar biaya parkir. Begitu pula helm bisa disimpan di basecamp. Dari anjuran petugas yang sempat kudengar sebaiknya helm seluruh anggota rombongan disatukan agar tidak tercecer.

Jika merasa tidak kuat mendaki sambil membawa carrier yang berat kita bisa menyewa jasa porter. Biasanya begitu turun dari bis ada orang yang menawarkan jasa tersebut. Waktu itu aku sempat bertanya biaya jasa porter besarnya Rp. 150.000,- sehari. Selain itu kita bisa naik ojek dengan harga Rp. 10.000,- hingga Pos I. Di basecamp juga kita bisa menyewa tenda. Sayang aku tidak sempat bertanya berapa harga sewanya.


Menuju Sikut Dewo (Pos 1)


Dari Basecamp ----- Sikut Dewo (Pos I) ----- Canggal Walangan (Pos II)

Selesai registrasi kami memeriksa kembali perlengkapan yang dibawa. Setelah memastikan tak ada yang terlupa Mas Is langsung mengajak mendaki karena jam sudah menunjukkan pukul 5 petang.

Kami lalu mengikuti para pendaki yang telah berangkat menuju puncak Gunung Prau. Banyak pula rombongan lain yang menyusul di belakang. Karena baru pertama kali naik gunung (selain Mas Is tentunya) semua sepakat untuk berjalan santai. Selain itu aku juga ingin lebih memperhatikan sekeliling serta memahami arah.

Awal perjalanan kami melewati perkampungan sembari menikmati pohon-pohon carica (pepaya khas Dieng) yang tengah berbuah di sepanjang jalan. Tampak pula ladang-ladang yang sebagian belum ditanami. Jalanan di desa ini berupa semen dan cukup lebar sehingga masih bisa dilalui kendaraan bermotor.

Tak berapa lama sampailah aku di depan anak tangga dari semen yang dijuluki Ondo Sewu atau tangga seribu. Stamina kami masih prima jadi tenaga masih penuh ketika melewati anak tangga yang seakan tak ada habisnya tersebut. Di kanan dan kiri ondo sewu tampak berjajar rumah-rumah penduduk. Akhirnya anak tangga berujung di jalanan bebatuan yang lebar dan rapi. Debu mulai beterbangan karena tepat di tengah-tengah musim kemarau panjang. Beruntung aku membawa masker hingga bisa melindungi hidung dan mulut dari serbuan debu.

Jalur batu yang terus menanjak dengan latar belakang bunga-bunga putih yang bermekaran

Di jalanan berbatu nan rapi dan lebar ini aku banyak menemukan bunga-bunga berwarna putih yang tengah mekar di atas tebing. Sayang kami berenam tidak mengetahui namanya. Aku juga sempat menemukan tanaman terong belanda yang belum berbuah. Meski musim kemarau tetapi tanaman tetap menghijau. Hati dan pikiran menjadi segar kala melihatnya. Sore itu amat cerah. Matahari bersinar terik. Udara juga belum terasa dingin meski berada di ketinggian. Jadi jaket yang dibawa belum perlu digunakan.

Selama mendaki kami sering didahului oleh rombongan lain. Untuk pertama kalinya aku merasakan kebersamaan dan keakraban. Para pendaki yang tidak kami kenal selalu menyapa dengan ramah dan sopan serta bertanya asal kota kami. Mereka juga kerap memberi semangat hingga segala penat terlupakan.

Menjelang senja dari lereng gunung

Beberapa kali kami sempat berhenti untuk mengambil gambar. Sayang kameraku sempat terjatuh 2 kali karena kurang hati-hati saat memegang. Beruntung masih bisa berfungsi. Hanya tutup batereinya patah sehingga harus ditekan agar bisa dihidupkan. Akhirnya aku terpaksa mengabadikan pemandangan sekitar dengan handphone sebab terlalu repot menekan tutup batereinya terus-menerus. Alhasil gambar yang diambil jadi kurang maksimal.

Setelah itu jalanan yang ditempuh berubah menjadi jalur tanah berupa anak tangga yang menanjak serta menyempit juga berdebu. Di beberapa tempat terdapat pagar bambu untuk berpegangan. Saat menuju Pos II aku bertemu warung-warung kecil yang menjual berbagai makanan. Karena bekal kami belum berkurang jadi tak ada keinginan untuk jajan. Di sini terdapat WC dengan tarif Rp. 3.000,-. Tak berapa lama aku melihat papan tanda Pos II. Rupanya kami telah tiba di Canggal Walangan.

Di Pos II ini ponselku berbunyi. Aku melihat pesan yang masuk tanpa sempat membalasnya. Kedua kartu yang kupakai yakni dari operator T dan X sinyalnya tampak penuh. Karena kami belum lelah dan yakin semua dalam keadaan baik, kamipun meneruskan langkah menuju Pos III.

Jalan setapak dengan pegangan yang sangat membantu

Menuju Cacingan (Pos III)

Senja mulai menyeruak. Angkasa perlahan kehilangan cahayanya. Satu-persatu mulai mengeluarkan senter. Sinarnya menerangi sekelilingku yang berupa jajaran pohon pinus. Perjalanan mendaki mulai memasuki kawasan hutan.

Meski musim kemarau jalanan tanah terasa licin. Beberapa kali aku terpeleset. Salahku juga memakai sepatu olahraga yang solnya licin gara-gara tidak memiliki sepatu gunung. Terpaksa aku berjalan dengan hati-hati. Beruntung rombongan kami bertemu dengan pendaki lain yang tanpa segan-segan langsung membantu. Mereka banyak yang memakai head lamp hingga jalanan nampak lebih terang dan jelas.

Malam di puncak Prau

Cukup lama juga kami berjalan dalam hutan. Beberapa kali kakiku tersandung akar pohon yang menghalangi jalan. Selama menuju Pos III kecepatan langkah kami mulai turun. Bukan cuma gelap tetapi jalurpun sangat terjal hingga aku dan teman-teman harus lebih hati-hati.

Begitu tiba di Pos III kami memutuskan untuk beristirahat sejenak. Saat melihat jam tangan waktu menunjukkan pukul 18:10. Aku sempat memeriksa ponsel dan sinyal dari operator X menghilang. Syukurlah sinyal operator T masih bisa tertangkap. Selama istirahat aku mendapat informasi dari pendaki senior yang sama-sama tengah berhenti. Agar badan tidak kelelahan sebaiknya kami tidak duduk atau melepas carrier. Akhirnya kami hanya berdiri sambil bersandar pada batang pohon. Selesai minum dan membalas sms yang masuk, kamipun kembali melanjutkan perjalanan.


Angkasa raya dari atas gunung

Tiba Di Area Camping 

Ada untungnya kami mendaki dalam gelap karena pandangan terus tertuju ke bawah, ke jalanan yang harus dilewati. Sehingga aku tak sempat menatap jauh ke depan. Sebab medan yang kami lewati ternyata amat terjal. Setelah mendaki cukup lama samar-samar terdengar suara percakapan juga terlihat sinar-sinar lampu. Ternyata kami telah tiba di area kemping. Aku tertegun melihat sesaknya tempat tersebut. Puluhan tenda telah berdiri hingga kami berenam terpaksa mencari lahan yang masih kosong untuk memasang tenda.

Saat melewati tenda demi tenda terdengar percakapan-percakapan, tawa, canda bahkan orang mengaji. Suaranya yang jernih membuat perasaanku tenang. Aku langsung mengucap syukur karena tiba dengan selamat di tempat ini. Ketika melihat jam tangan, waktu menunjukkan pukul 19:23 WIB. Pendakian kami tidak sampai 3 jam lamanya.

Tenda-tenda yang memadati area kemping

Setelah berkeliling dan menemukan tempat kosong tenda segera didirikan. Badan mulai menggigil hingga aku mengenakan jaket yang sejak tadi hanya disampirkan di bahu. Perutpun tak ketinggalan mulai berteriak minta diisi. Kami mengumpulkan mie instan yang dibawa dan merebusnya. Tak ketinggalan secangkir teh hangat untuk masing-masing orang. Karena di puncak angin bertiup cukup kencang dan membuat debu berterbangan kami memutuskan makan di dalam tenda yang tertutup rapat.

Begitu perut kenyang dan badan hangat aku serta teman-teman memutuskan untuk tidur. Meski tinggal di Wonosobo yang udaranya relatif dingin namun puncak gunung hawanya jauh lebih dingin. Tubuhku terus menggigil karena tidak tahan dingin. Beruntung ada kantong tidur hingga aku bisa membungkus diri dengan nyaman. Tapi belum sempat memejamkan mata salah seorang teman mendadak sakit perut dan ingin buang air besar. Jadi aku bangkit kembali untuk mengantarnya.

Menatap semburat jingga di puncak gunung

Tetapi buang air besar di atas gunung yang tidak menyediakan toilet bukan perkara mudah. Terlebih tak ada sungai apalagi sumber air. Aku dan teman-teman terpaksa mencari tempat yang benar-benar sunyi serta terpencil. Jauh dari tenda juga dari orang-orang yang berkemah sambil membawa air dalam botol serta tissue basah juga plastik untuk menampung sampah. Mas Is menyarankan untuk membawa air mineral sebanyak 1 liter/orang. Beruntung aku dan yang lainnya membawa lebih, khusus menghadapi saat darurat seperti ini.

Karena tidak mau meninggalkan jejak saat buang air besar temanku menggali tanah agar kotorannya bisa ditutupi. Setelah membersihkan diri dengan air mineral  juga tissue basah, botol bekas dan tissuenya lantas dimasukkan ke dalam plastik dan diikat erat-erat agar tidak berbau. Nantinya akan kami buang jika sudah kembali ke bawah. Bekas kotoran di tanah juga ditutup rapat supaya tidak mengganggu orang yang kebetulan melewati tempat tersebut.

Menjelang fajar di puncak Gunung Prau

Begitu tiba kembali di tenda rasa ngantuk langsung menyerang. Sambil berbaring di dalam kantong tidur mataku mulai terpejam. Sayangnya suara-suara dari tenda sebelah yang sangat dekat begitu lantang, hingga beberapa kali aku tersentak bangun. Barulah sekitar pukul 12 malam suasana berubah sunyi.

Sebelum tidur aku mengecek ponselku. Di puncak Gunung Prau ini yang tertangkap hanya sinyal dari operator X itupun sesekali hilang timbul. Sedangkan sinyal dari operator T sama sekali tidak ada. Sementara handphone teman-teman yang memakai kartu operator lain benar-benar tak tertangkap sinyalnya. Setelah mengirim sms pada orangtua mengabarkan keadaanku, akupun segera tertidur.


Hamparan  awan bagaikan lautan

Tepat jam 4 pagi alarm handphoneku berbunyi. Aku dan teman-teman segera bangun karena tak ingin ketinggalan menyaksikan terbitnya matahari. Begitu keluar tenda angin kencang langsung menyerbu. Aku terpaksa kembali ke tenda untuk mengambil pelindung telinga. Lumayan untuk mengurangi serbuan hawa dingin yang menerpa telinga. Kami kemudian mencari lokasi yang paling strategis untuk melihat matahari terbit.

Meski baru jam 4 pagi namun area untuk melihat matahari terbit sudah dipenuhi para pendaki. Mereka mulai mengambil gambar baik diri sendiri maupun alam sekitar. Akupun tak mau ketinggalan ikut mengabadikan sekelilingku.


Pemandangan di atas Gunung Prau

Tak ingin kehilangan detik-detik yang telah dinanti kami langsung berjongkok dan menatap ke ufuk timur. Sungguh, tak ada kata yang tepat selain ucapan syukur berkali-kali kala memandang semburat jingga perlahan menghiasai angkasa. Aku begitu bahagia diberi kesempatan mereguk kesempatan tak terlupakan ini. Menjadi saksi sang surya terbit di puncak gunung.

Airmata menggenangi sudut mataku. Akhirnya impian masa kecilku untuk mendaki gunung terwujud. Namun ini bukanlah akhir. Justru Gunung Prau adalah awal mimpi besarku. Selepas ini aku ingin mendaki gunung-gunung lain yang ada di seantero negeri. Mengumpulkan satu-persatu keindahan serta mematrinya dalam-dalam pada jiwaku. Hingga rasa cinta terhadap alam sekitar akan terus mengaliri urat nadiku.

Mengagumi alam sekitar

Begitu mentari sempurna bercahaya di ufuk timur satu-persatu pendaki kembali ke tendanya. Kami juga memutuskan untuk sarapan. Lagi-lagi membuat mie instan tapi kali ini minumannya kopi hangat. Ketika perut selesai diisi kami segera membongkar tenda sebab hari Senin aku dan teman-teman sudah harus beraktivitas kembali. Jam setengah 8 pagi semua telah selesai dikemas rapi. Sampah-sampah juga disimpan dalam kantong untuk dibawa turun agar tidak mengotori gunung.

Bersamaan dengan kepulangan kami, pendaki lain juga ikut turun. Area kemping yang tadinya sesak dengan puluhan tenda perlahan mulai senyap. Sayangnya di bekas tenda yang dibongkar pendaki lain aku menemukan potongan-potongan kertas yang sepertinya sengaja ditinggalkan. Entah apa maksud mereka membuang kertas dengan tulisan-tulisan yang salah satunya berbunyi :

"Rxxx dan Rxxx merajut cinta di negeri di atas awan"

Geli bercampur geram. Padahal sudah jelas ada tulisan yang terpampang untuk membawa turun sampah namun kedua sejoli yang tengah dimabuk cinta tersebut malah sengaja menebarkan sampahnya di tempat ini. Kesal, kuremas-remas kertas tersebut dan langsung memasukkannya ke kantong sampah bersama kertas-kertas lain agar bisa kubawa turun. Aku muak pada pesan-pesan yang mengotori puncak gunung yang seharusnya kita jaga.

Papan peringatan di area kemping

Namun perasaan kesalku langsung terlupakan begitu menatap hamparan bunga Daisy yang tengah mekar juga telaga di kejauhan saat turun gunung. Pos demi pos dengan cepat aku lewati tanpa kesulitan. Di Pos I tampak beberapa sepeda motor. Mereka adalah tukang ojek yang menunggu para pendaki.

Perjalanan pulang ternyata lebih cepat dari mendaki. Hanya dalam waktu 2 jam aku dan teman-teman sudah sampai di basecamp kembali. Sebelum pulang menggunakan mikrobus aku mampir ke toilet yang ada di warung-warung sekitar basecamp. Untuk mempergunakan tempat itu kita perlu membayar sebesar  Rp. 1.000,-.

Begitu selesai dari toilet kami ingin segera pulang. Jadi tanpa pikir panjang aku dan teman-teman naik mikrobus jurusan Wonosobo yang masih kosong dan tengah parkir di tepi jalan raya. Kondekturnya segera meminta ongkos Rp. 11.000,-/orang meski kendaraan belum berangkat. Naasnya mikrobus tersebut tidak juga jalan hingga 2 jam lamanya. Kami juga tak bisa pindah mikrobus karena ongkosnya sudah dibawa kondektur. Ini jadi pelajaran. Lain kali kami harus mencari mikrobus yang sudah siap berangkat.

Namun pengalaman pertama mendaki ini amat membekas di hati. Dan rencana kedua aku akan mendaki Pakuwojo bila tempat tersebut telah menghijau. Semoga impianku segera mewujud.

Bunga Daisy yang bermekaran

Catatan
  • Sebelum mendaki cari informasi dahulu apakah jalur pendakian Gunung Prau masih dibuka. Sebab di waktu tertentu kawasan ini ditutup (biasanya setiap tanggal 05 Januari - 05 April)
  • Persiapkan fisik dan perlengkapan sebelum berangkat dengan cermat
  • Taati semua peraturan selama berada di kawasan Gunung Prau demi keselamatan diri dan lingkungan
  • Bawa turun semua sampah dan bantu memungut sampah yang ditinggalkan pendaki lain agar kawasan Gunung Prau terus terjaga kebersihannya
  • Jika menggunakan ransel biasa sebaiknya barang yang dibawa dibungkus dalam kantong plastik serta ditutup rapat agar terhindar dari air terutama bila musim hujan
  • Jalur pendakian lewat Patak Banteng tidak tersedia air jadi bawalah air yang cukup
  • Pakailah sepatu yang solnya tidak mudah selip. Berdasarkan pengalamanku saat musim kemarau tanah yang dipijak tetap licin 
  • Jangan membuat api unggun di kawasan Gunung Prau. Jika tidak membawa kompor lebih baik tidak menginap. Sebab beberapa waktu lalu sempat terjadi kebakaran gara-gara api unggun
  • Sebaiknya tidak merokok di kawasan Gunung Prau. Jika terpaksa merokok puntungnya harus dibawa turun kembali agar tidak menyebabkan kebakaran
  • Jika ada anggota rombongan yang lebih lemah sebaiknya yang kuat tidak berjalan lebih cepat apalagi lari. Tapi semua harus saling membantu
  • Sapa dan ajaklah ngobrol pendaki lain dengan sopan dan ramah karena bukan tidak mungkin kita membutuhkan bantuan mereka

Telaga yang tampak dalam perjalanan pulang




Rabu, 19 Agustus 2015

AGROWISATA TAMBI, KEBUN TEH PENUH PESONA DI WONOSOBO

perkebunan teh Tambi - Wonosobo
Ingin menikmati udara sejuk, bebas polusi serta pemandangan hijau di kota Wonosobo? Mampir saja ke perkebunan teh Tambi yang berada di lereng gunung Sindoro sekitar 1400 meter di atas permukaan laut. Tepatnya di Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo. Di tempat ini kita dapat menikmati berbagai paket wisata seperti teawalk, outbond bahkan bagi para wisatawan dari luar kota tersedia penginapan berupa pondok-pondok yang dapat disewa.

pemenang NJF 2015
Aku sendiri berkesempatan mengunjungi perkebunan teh Tambi setelah sebelumnya dinyatakan sebagai pemenang lomba menulis artikel kategori pelajar NJF 2015. Bersama para pemenang lomba foto serta video kami mendapat hadiah berjalan-jalan ke tempat yang menawan ini.

jalan menuju kebun teh Tambi
Sebelumnya para pemenang diminta untuk berkumpul di halaman bioskop Dieng yang letaknya dekat sekali dengan rumahku. Sesuai jadwal aku tiba jam 7 pagi tetapi karena ada peserta yang belum datang, keberangkatan yang seharusnya pukul 07.30 terpaksa mundur. Meski begitu perasaan lelah karena menunggu peserta lain menjadi sirna ketika menatap pemandangan sepanjang perjalanan Wonosobo hingga Tambi. Pepohonan di sisi kiri dan kanan serta pegunungan sebagai latar belakang membuat perasaanku menjadi tenang.

area depan pabrik teh Tambi
Bersama Mbak Wening, Pak Erwin serta tim NJF kami berangkat dengan 2 mobil. Perjalanan sangat lancar meski cukup ramai karena bertepatan dengan hari libur. Sayangnya mobil yang aku tumpangi mendadak mogok setelah sopir berhenti sejenak untuk membeli rokok. Beruntung setelah didorong mobil  kembali melaju. Hingga kami bisa sampai di perkebunan teh Tambi.

Pabrik Teh Tambi
Di tempat ini kami disambut dengan ramah oleh Pak Puji yang bertugas sebagai guide. Karena proses di pabrik sudah hampir selesai, Pak Puji menyarankan agar kami lebih dulu mengunjungi pabrik sebelum nantinya berkeliling kebun teh.

melihat proses pelayuan daun teh
Pak Puji membawa kami menuju area pelayuan. Di tempat ini kami diperlihatkan bagaimana daun teh pertama kali diolah. Setelah itu berturut-turut kami mengunjungi ruang-ruang lainnya dimana tampak para pekerja sedang sibuk memproses daun teh. Akan tetapi semua kesibukan tersebut hanya bisa kita lihat dari kaca luar.

proses pembuatan teh yang hanya bisa dilihat dari luar kaca
Mungkin agar para pekerja tidak terganggu. Selain itu jika para pengunjung diperbolehkan masuk pastilah proses pengolahan teh menjadi tidak steril lagi.

contoh-contoh teh
Dari keterangan Pak Puji aku jadi tahu kalau teh ini tidak hanya dijual di dalam negeri. Akan tetapi pembeli dari negara lainpun banyak yang berminat membelinya. Tentunya dengan standar yang telah ditentukan oleh mereka. Setelah diberi label juga ditambah dengan bahan lainnya, ketika dijual kembali ke Indonesia harga teh tersebut jadi berlipat ganda. Sayangnya banyak dari kita yang tidak tahu kalau teh dengan merk dari luar negeri yang mereka konsumsi itu sebenarnya berasal dari pabrik teh Tambi yang berada di Kabupaten Wonosobo ini.

Pak Puji memperagakan cara memetik daun teh
Selesai melihat proses pembuatan teh Pak Puji mengajak kami ke kebun teh yang mengelilingi seluruh pabrik. Sayangnya saat kami datang para pekerja telah selesai memetik daun teh. Beruntung Pak Puji mau mendemontrasikan cara-cara memetik daun teh.

berkeliling kebun teh
Sambil dipandu oleh Pak Puji kami kemudian berkeliling kebun teh yang amat luas ini. Tanamannya yang hijau dan rapi sungguh amat mempesona. Dan ternyata tanaman teh ini aslinya tidak sependek yang kita lihat selama ini. Hanya agar proses pemetikan bisa lebih mudah, maka tanaman-tanaman teh tersebut harus selalu dipangkas hingga tingginya tidak lebih dari 1 meter.

jalanan di seputar kebun teh Tambi
Oya, meski kami datang di tengah-tengah musim kemarau namun tanaman tehnya tetap menghijau. Hingga rasanya hati terasa sejuk saat menatapnya. Karena perjalanan mengelilingi kebun teh ini cukup jauh sebaiknya kita mengenakan pakaian santai dan sepatu yang nyaman.

pondok-pondok yang bisa disewa oleh pegunjung
Selesai berkeliling kebun teh, kami diajak masuk kembali ke area pabrik dari pintu belakang yang langsung menyambung ke pondok-pondok wisata. Selain pabrik dan kebun teh masih ada area bermain anak, kolam juga taman yang bisa kita nikmati.

taman agrowisata Tambi
Akhirnya selesai sudah kami berkeliling agrowisata perkebunan teh Tambi yang sangat luas ini. Dan sebagai pelepas penat serta haus, pihak agrowisata telah menyediakan teh hangat khasTambi serta berbagai gorengan. Diantaranya tempe kemul yang merupakan makanan khas Wonosobo.

Konnichiwa, Jepang! ikutan mejeng di Tambi
Makasih banyak Mbak Wening, Pap Erwin dan tim NJF 2015 atas kesempatannya mengajak aku teawalk di perkebunan teh Tambi, Nah, jika temen-temen berkunjung ke Wonosobo jangan lupa mampir ke agrowisata perkebunan teh Tambi, Kejajar, ya :)


Jumat, 29 Mei 2015

WAJAH LAIN SEPUTAR ALUN-ALUN WONOSOBO



pintu masuk Taman Prajuritan

Kabupaten Wonosobo selama ini terkenal dengan tempat wisatanya yaitu Dataran Tinggi Dieng. Banyak wisatawan lokal maupun mancanegara sengaja berkunjung untuk menikmati indahnya Telaga Warna, Candi Arjuna, Kawah Sikidang, Sumur Jalatunda juga beberapa lokasi lainnya. Wonosobo juga masih memiliki daerah wisata seperti perkebunan teh Tambi, Telaga Menjer serta pemandian Kalianget.

Akan tetapi sebenarnya masih ada 1 tempat yang sayang untuk dilewatkan yaitu, alun-alun kota Wonosobo. Datanglah ke alun-alun pada hari Minggu. Letaknya yang sangat stategis karena tepat berada di jantung kota ini, sejak beberapa tahun terakhir berubah fungsinya menjadi arena belanja dan wisata keluarga.

Pengunjung alun-alun selama ini didominasi oleh warga kota Wonosobo sendiri. Mereka biasanya datang bersama keluarga, teman atau kerabat menggunakan kendaraan pribadi maupun umum hingga membuat seputar tempat ini macet. Meski demikian antusias pengunjung tidak berkurang. Malah akhir-akhir ini alun-alun semakin padat dengan bertambahnya pedagang yang menggelar lapaknya di sini. 


Di alun-alun kita bisa menikmati berbagai wisata kuliner mulai dari makanan khas Wonosobo seperti mie ongklok, tempe kemul, geblek serta sego megono. Selain itu tersedia juga nasi gudeg, pecel, soto, sate, bakso, siomay, mie ayam, bubur ayam, burger, sosis, aneka gorengan, aneka minuman dan sebagainya

Para pedagang ini pada umumnya menggunakan gerobak tanpa atap. Sementara pembeli bisa menikmati hidangannya sambil duduk-duduk di tikar atau kursi yang disediakan dengan beratapkan pepohonan yang rindang ataupun langit. 

Setelah kenyang menikmati berbagai makanan, kita bisa mengelilingi alun-alun sambil melihat-lihat pedagang pakaian, kerudung, sepatu, sandal, peralatan dapur, mainan anak-anak, ikan hias, binatang peliharan serta lainnya yang menggelar dagangannya di trotoar alun-alun bagian atas. Harga yang ditawarkan oleh mereka sangat terjangkau. Bahkan jika pandai menawar kita bisa membawa pulang barang dengan harga cukup murah.




deretan pedagang makanan di sebelah utara alun-alun Wonosobo

Khusus untuk kolektor batu akik tidak akan kecewa jika datang ke tempat ini. Penjual batu akik mudah dijumpai di sini. Mereka menggelar dagangannya di alun-alun sebelah selatan dan biasanya dipadati penggemarnya yang umumnya kaum laki-laki.

Saat berwisata tentunya tidak menutup kemungkinan bagi kita membawa seluruh anggota keluarga, baik itu orangtua, remaja juga anak-anak. Dan khusus untuk anak-anak ada banyak permainan yang disewakan dengan harga terjangkau di alun-alun kota Wonosobo. 

Selain menjadi tempat wisata kuliner, belanja atau bermain anak, setiap hari Minggunya alun-alun Wonosobo juga dimanfaatkan untuk bermain sepakbola, voli, basket, lari, jalan santai, sepeda santai juga pencak silat atau karate. Sementara di halaman Gedung Adipura yang berada di seberang timur alun-alun  digelar senam yang bisa diikuti pengunjung dengan membayar langsung pada saat datang. Khusus untuk penggemar futsal, tersedia lapangan yang bisa disewa. Tempat tersebut berada dalam komplek Pujasera (Pusat Jajan Serba Ada) yang ada di seberang selatan alun-alun. 

Setelah lelah berkeliling kita bisa beristirahat di Taman Prajuritan yang ada di sebelah timur alun-alun. Di sini kita bisa duduk-duduk dengan nyaman di bangku-bangku yang disediakan sambil menikmati sejuknya udara kota Wonosobo juga mengagumi pemandangan alam di kejauhan.

Selain Taman Prajuritan terdapat sebuah taman lain yaitu Taman Kartini. Meski letaknya hanya di seberang alun-alun, tetapi pengunjungnya tidak terlalu banyak. Bagi kita yang menginginkan suasana tenang dan santai Taman Kartini adalah tempat yang tepat.

Kita bisa duduk, jalan-jalan berkeliling ataupun bermain di halaman rumput yang ada di taman ini. Dan biasanya para remaja yang datang kemari tidak melewatkan kesempatan untuk ber-selfie- (mengambil foto diri mereka sendiri menggunakan smartphone atau tablet).

Bagi pengunjung yang gemar membaca bisa singgah di Perpustakaan Umum Daerah Wonosobo. Gedungnya berada 1 komplek dengan Taman Kartini. Koleksi buku yang disediakan oleh Perpusda Wonosobo ini tergolong lengkap. Bacaan untuk anak, remaja serta dewasa semua tersedia di sini. Khusus hari Minggu, perpustakaan buka mulai jam 10.00. Pengunjung yang tidak memiliki kartu anggota tetap bisa membaca di tempat sini akan tetapi tidak bisa meminjam untuk dibawa pulang.

Tunggu apa lagi, bagi pelancong yang singgah di kota Wonosobo pada hari Minggu, jangan lupa mampir ke alun-alun kota Wonosobo yang semarak ini.

Postingan artikel ini diikutsertakan dalam #NJFWonosobo2015















Senin, 05 Januari 2015

JALAN-JALAN KE KERATON KASUNANAN SOLO

keraton Solo

Keraton Kasunanan Surakarta, merupakan salah satu destinasi wisata yang wajib dikunjungi. Itulah sebabnya aku tidak ingin melewatkannya saat pergi ke Solo.

Keraton yang letaknya di pusat kota Solo ini, dibangun pada taun 1743 - 1745 dan diarsiteki oleh Pangeran Mangkubumi. 

silsilah dinasti Mataram

Setelah membeli tiket masuk seharga 10 ribu rupiah per-orang, aku berjalan menuju pintu masuk keraton yang letaknya cukup jauh dari loket pembelian tiketnya. Karena aku datang saat liburan taun baru, jadi cukup banyak juga wisatawan yang mengunjungi keraton ini.

bagian dalam keraton

Bagian dalam keraton ini memiliki koridor yang sangat luas. Dan di tengah-tengah koridor tersebut terdapat halaman berumput dengan sebuah bangunan di bagian tengahnya.

halaman keraton


Selain di bagian ini, kita bisa masuk ke bagian dalam keraton yang lain. Akan tetapi ada peraturan khusus untuk masuk ke tempat ini. Diantaranya kita harus melepas sandal. Jadi kalo kalian tidak mau melepas alas kaki, lebih baik memakai sepatu tertutup saat mengunjungi Keraton Kasunanan Surakarta ini. Kita juga harus berpakaian sopan, tidak boleh merokok, makan, dilarang juga memakai topi dan kacamata hitam.

tata tertib di Keraton

Bagian keraton yang dalam ini halamannya dipenuhi dengan pasir.Tempatnya teduh dan sejuk karena ada banyak pepohonan di sana. Selain itu ada berbagai bangunan yang dapat kita lihat. Juga ada banyak patung di depan salah satu bangunan.


halaman keraton yang berpasir

Selain itu kita juga bisa melihat koleksi berbagai benda bersejarah yang ada di bagian dalam ruangan dari keraton ini.

berbagai benda bersejarah