Hujan
masih terus mengguyur sejak kemarin pagi. Titik-titik airnya mulai menggenangi
halaman rumahku. Bergegas aku membuka payung dan melangkahkan kaki menuju ke
sekolah. Rasanya sungguh gelisah ketika hujan deras tidak juga berhenti. Aku
jadi teringat berita-berita di koran tentang bencana banjir atau tanah longsor
karena hujan yang turun tiada henti. Tetapi kalau dipikirkan lagi bukan hujan
yang harus disalahkan sebab hujan itu adalah anugerah dari Tuhan. Namun kita
sebagai manusia yang tidak bisa menjaga lingkungan sekitarnya. Kitalah yang
telah merusak lingkungan hingga setiap kali hujan turun berkepanjangan datanglah
banjir juga tanah longsor.
“Tata!” panggil seseorang dari arah
belakangku.
Aku menengok dan melihat Lulu
sahabatku sedang berlari-lari mengejarku. Beberapa tetes air hujan menimpa
wajahnya yang tidak tertutup rapat oleh jas hujan yang sedang dipakainya.
“Tata!” seru Lulu lagi dengan nafas
terengah-engah. “Kamu sudah dengar belum?”
“Soal apa?” tanyaku sambil
menggeleng.
“Semalam tebing yang berada di dekat
rumahku runtuh,” beritahu Lulu. “Untung saja rumahku tidak dibawah tebing. Tapi
ada beberapa rumah tetanggaku yang hancur, termasuk rumah Tina,” sambungnya
lagi.
“Rumah Tina hancur?” teriakku kaget.
“Terus Tina sekarang tinggal dimana?” ujarku prihatin.
“Di Balai Desa. Ia mengungsi kesana,”
jawab Lulu kemudian.
Saat itu sekolah sudah tampak ramai.
Ternyata kabar hancurnya rumah Tina yang terkena tanah longsor sudah menyebar ke
seluruh sekolah. Pihak sekolah bahkan meminta kami untuk membantu semua korban dengan
mengumpulkan baju-baju bekas, makanan serta uang.
Esok paginya sudah terkumpul banyak
sekali bantuan dari para siswa. Semua siswa kelas 5 diminta untuk merapikan dan
membungkusnya serta membagikannya kepada semua korban. Aku bersama Lulu dan
teman-teman sekelasku sibuk membereskan semua bantuan yang menumpuk di ruang
kegiatan. Kami sengaja memisahkan antara makanan, baju juga uang yang telah
terkumpul. Setelah semua siap bersama wali kelasku, Bu Eko, kami berjalan
menuju tempat pengungsian para korban tanah longsor itu.
Baru kali ini aku menyaksikan dengan
mata kepalaku sendiri korban bencana alam yang terpaksa tinggal di pengungsian.
Mereka semua ditempatkan di Balai Desa. Begitu banyak orang berjejalan disana. Dari
mulai bayi, anak-anak, orang dewasa, sampai kakek nenek semua berada di ruangan
yang sama. Hatiku sedih melihat keadaan mereka. Semua tampak murung dan lesu.
Tak ada senyum, tawa apalagi canda. Mereka tampak berduka karena kehilangan
harta benda yang dimiliki. Bahkan ada beberapa yang kehilangan anggota
keluarganya.
Mataku mencari-cari Tina dan
keluarganya. Ternyata ia ada di ujung ruangan. Saat melihat kedatangan kami
Tina bergegas menghampiri. Wajahnya penuh airmata. Ia tampak begitu pucat
hingga membuat kami semua ikut menangis. Rumah Tina hancur karena tertimbun
tanah namun mereka semua selamat. Tetapi tetangga sebelah rumahnya hampir semua
anggota keluarganya menjadi korban. Hanya gadis cilik berumur 9 tahun yang bernama
Neti yang selamat karena kebetulan ia sedang menginap di rumah Tina. Saat itu Neti
terus menggenggam erat tangan Tina. Ia tidak menangis meski wajahnya lebih
pucat dari Tina. Ia hanya diam. Tak sepatah katapun yang diucapkannya saat kami
semua menyapa dan menghiburnya. Pasti sangat berat baginya harus kehilangan
seluruh anggota keluarganya.
Selesai membagikan bantuan kami mendoakan
semua korban tanah longsor. Tak lama kemudian kamipun berpamitan untuk kembali
ke sekolah. Sepanjang perjalanan aku tak dapat melepaskan ingatanku dari Neti. Bahkan
selama sisa pelajaran yang ada aku terus gelisah. Bayangan wajah Neti tak mau
hilang dari benakku. Aku teringat wajah pucatnya. Aku teringat sikap diamnya.
Dan semua itu membuat hatiku semakin sedih.
Malam telah larut namun aku tak
dapat memejamkan mataku. Bayangan korban tanah longsor yang siang tadi aku
temui membuatku terjaga.
“Apakah Tina bisa tidur nyenyak?”
batinku resah. “Dan Neti?” lagi-lagi aku teringat padanya. “Pasti ia sedih karena
harus tidur sendiri tanpa ditemani orang tua juga saudaranya,” gumamku lagi.
Ingin sekali aku menghapus kesedihan
di wajah teman-temanku. Aku ingin membuat Tina tersenyum lagi. Aku juga ingin
membuat Neti bisa tertawa. Aku harus berusaha membuat bahagia teman-temanku
kembali. Dan malam itu pikiranku terbang kemana-mana.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKak kakak ter inspirasi dri mn ceritany?
BalasHapus