Jumat, 25 Mei 2012

MENANTI KATA-KATA (TAMAT)

            Sepulang dari Balai Desa ternyata mama sudah ada di rumah. 
            “Tata, dari mana saja kamu! Kenapa baru pulang!” tegur mama.
            “Maaf, ma. Tadi sepulang sekolah Tata langsung ke tempat Neti,” jawabku menyesal.
            Lalu akupun bercerita pada mama tentang Neti yang mungkin akan dititipkan ke Panti Asuhan karena ia kehilangan semua anggota keluarganya.
            “Kasihan Neti,” ujar mama prihatin.
            “Ma, kalau misalnya...,” mendadak aku ragu-ragu.
            “Misalnya apa, sayang?” tanya mama saat melihatku tiba-tiba terdiam.
            “Kalau misalnya Neti kita ajak tinggal bersama, bagaimana?” tanyaku takut-takut.
            Mama memandangku tanpa berkata apa-apa.
            “Kasihan Neti, ma. Ia tidak mempunyai saudara lagi. Dan...dan...,” aku tak dapat menahan airmataku. “Dan kalau Neti harus tinggal di Panti Asuhan, ia pasti sangat sedih. Boleh ya ma, Neti tinggal bersama kita,” bujukku.
            “Nanti mama bicara dengan papa dulu, ya,” jawab mama lembut.
            “Kalau Neti tinggal bersama kita, aku nggak akan kesepian lagi saat mama dan papa pergi kerja,” ujarku masih terisak. “Aku juga senang sekali kalau bisa punya seorang adik,” sambungku penuh harap.
            Mama mengangguk sambil mengusap airmataku. “Sabar ya sayang. Kita tunggu sampai papa pulang.”
            Aku mengangguk sambil memeluk mama erat-erat.
*****
            Hari masih pagi, namun aku sudah tak sabar untuk mengajak mama dan papa ke Balai Desa. Hari ini kami bertiga akan menjemput Neti setelah papa setuju mengajak Neti tinggal bersama kami. Sebetulnya dari kemarin-kemarin aku ingin menjemputnya tapi mama melarang. Mama minta agar aku bersabar. Tetapi aku sudah menyampaikan kabar gembira itu pada Neti. Meski ia tidak berkata sepatah katapun aku yakin Neti sangat senang karena kulihat matanya mendadak berbinar-binar. Bahkan saat aku hendak pulang ia tak mau melepaskan pelukannya. Sampai kami semua harus membujuknya karena Neti menangis. Entah kenapa aku malah senang ketika melihatnya menangis. Pasti Neti benar-benar ingin tinggal bersamaku.
            Semalam aku telah menyiapkan kamar untuk Neti. Dan aku sengaja menggunakan uang tabunganku untuk membelikan boneka serta buku cerita baru. Mama juga sudah menyiapkan makanan serta kue-kue. Aku berharap Neti akan bahagia tinggal bersamaku.
            Ketika kami sampai Neti sudah menungguku di depan Balai Desa. Saat melihatku turun dari mobil ia langsung berlari mendekatiku. Aku memeluknya dengan erat. Tampaknya ia sudah tak sabar ingin cepat-cepat pergi. Tetapi kami masih harus berpamitan dulu. Setelah mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang masih tinggal di Balai Desa kamipun segera pulang. Neti duduk di sebelahku. Sepanjang perjalanan tangannya menggenggam erat tanganku. Mobil melaju dengan pelan karena kami memang tidak terburu-buru. Aku bersenandung di samping Neti yang masih saja diam.
            “Oya, aku punya sesuatu untukmu,” aku mengambil bungkusan yang kusimpan dibagasi belakang. “Ini,” aku menyerahkan sebuah boneka kelinci berwarna pink untuknya. Kemarin sepulang sekolah aku sengaja membelinya.
            Tiba-tiba Neti tersenyum. Sampai membuatku terpana.
            “Kamu suka?” tanyaku senang.
            Neti mengangguk sambil meraih boneka itu.
            Aku memeluknya erat. Ini pertama kalinya ia mau tersenyum padaku.
            “Kamu senang tinggal bersamaku,” tanyaku memastikan.
            Lagi-lagi Neti mengangguk hingga membuat mataku berkaca-kaca.
            “Mulai sekarang kamu jadi adikku. Dan kamu harus memanggilku, Kak Tata,’ pintaku kemudian.
            Neti memandangku lama sekali. Tiba-tiba setitik airmata membasahi pipinya. lalu ia menangis terisak-isak. Aku yang tak tahu apa yang dipikirkannya merasa kebingungan. Aku takut ada yang salah dengan perkataanku.
            “Maaf Neti, kalau kamu nggak mau memanggilku Kak Tata, nggak papa,” bujukku.
            Neti terus menangis sampai kami tiba di rumah.
            Di depan rumah aku turun dengan lesu. Aku merasa sangat bersalah pada Neti. Mungkin ia tiba-tiba teringat kepada kakaknya. Saat kami masuk kamarpun ia masih saja terisak. Padahal mama sudah ikut membujuknya. Kami lalu membiarkan Neti berbaring di kamarnya. Mungkin ia masih butuh waktu untuk melupakan kesedihannya karena kehilangan saudara serta kedua orangtuanya.
            “Kak Tata,” ada yang memanggilku saat aku hendak keluar kamar.
            Aku tertegun dan tidak mempercayai pendengaranku.
            “Kak Tata,” suara itu terdengar lagi.
            Aku menoleh dan melihat Neti sedang memandangku dengan wajah penuh airmata. “Makasih, Kak Tata. Aku senang menjadi adik kak Tata,” ucap Neti pelan.
            Aku terdiam. Setelah begitu lama menanti kata-kata darinya akhirnya aku bisa mendengarnya.     
            “Terima kasih, Neti,” bisikku haru sambil menghampirinya dan memeluknya erat. Kini aku bahagia. Sangat bahagia.



2 komentar: