Sepulang dari Balai Desa ternyata mama sudah ada
di rumah.
“Tata,
dari mana saja kamu! Kenapa baru pulang!” tegur mama.
“Maaf,
ma. Tadi sepulang sekolah Tata langsung ke tempat Neti,” jawabku menyesal.
Lalu
akupun bercerita pada mama tentang Neti yang mungkin akan dititipkan ke Panti
Asuhan karena ia kehilangan semua anggota keluarganya.
“Kasihan
Neti,” ujar mama prihatin.
“Ma,
kalau misalnya...,” mendadak aku ragu-ragu.
“Misalnya
apa, sayang?” tanya mama saat melihatku tiba-tiba terdiam.
“Kalau
misalnya Neti kita ajak tinggal bersama, bagaimana?” tanyaku takut-takut.
Mama
memandangku tanpa berkata apa-apa.
“Kasihan
Neti, ma. Ia tidak mempunyai saudara lagi. Dan...dan...,” aku tak dapat menahan
airmataku. “Dan kalau Neti harus tinggal di Panti Asuhan, ia pasti sangat sedih.
Boleh ya ma, Neti tinggal bersama kita,” bujukku.
“Nanti
mama bicara dengan papa dulu, ya,” jawab mama lembut.
“Kalau
Neti tinggal bersama kita, aku nggak akan kesepian lagi saat mama dan papa
pergi kerja,” ujarku masih terisak. “Aku juga senang sekali kalau bisa punya
seorang adik,” sambungku penuh harap.
Mama
mengangguk sambil mengusap airmataku. “Sabar ya sayang. Kita tunggu sampai papa
pulang.”
Aku
mengangguk sambil memeluk mama erat-erat.
*****
Hari
masih pagi, namun aku sudah tak sabar untuk mengajak mama dan papa ke Balai
Desa. Hari ini kami bertiga akan menjemput Neti setelah papa setuju mengajak
Neti tinggal bersama kami. Sebetulnya dari kemarin-kemarin aku ingin menjemputnya
tapi mama melarang. Mama minta agar aku bersabar. Tetapi aku sudah menyampaikan
kabar gembira itu pada Neti. Meski ia tidak berkata sepatah katapun aku yakin Neti
sangat senang karena kulihat matanya mendadak berbinar-binar. Bahkan saat aku hendak
pulang ia tak mau melepaskan pelukannya. Sampai kami semua harus membujuknya
karena Neti menangis. Entah kenapa aku malah senang ketika melihatnya menangis.
Pasti Neti benar-benar ingin tinggal bersamaku.
Semalam
aku telah menyiapkan kamar untuk Neti. Dan aku sengaja menggunakan uang tabunganku
untuk membelikan boneka serta buku cerita baru. Mama juga sudah menyiapkan
makanan serta kue-kue. Aku berharap Neti akan bahagia tinggal bersamaku.
Ketika
kami sampai Neti sudah menungguku di depan Balai Desa. Saat melihatku turun
dari mobil ia langsung berlari mendekatiku. Aku memeluknya dengan erat.
Tampaknya ia sudah tak sabar ingin cepat-cepat pergi. Tetapi kami masih harus
berpamitan dulu. Setelah mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang masih
tinggal di Balai Desa kamipun segera pulang. Neti duduk di sebelahku. Sepanjang
perjalanan tangannya menggenggam erat tanganku. Mobil melaju dengan pelan
karena kami memang tidak terburu-buru. Aku bersenandung di samping Neti yang masih
saja diam.
“Oya,
aku punya sesuatu untukmu,” aku mengambil bungkusan yang kusimpan dibagasi
belakang. “Ini,” aku menyerahkan sebuah boneka kelinci berwarna pink untuknya.
Kemarin sepulang sekolah aku sengaja membelinya.
Tiba-tiba
Neti tersenyum. Sampai membuatku terpana.
“Kamu
suka?” tanyaku senang.
Neti
mengangguk sambil meraih boneka itu.
Aku
memeluknya erat. Ini pertama kalinya ia mau tersenyum padaku.
“Kamu
senang tinggal bersamaku,” tanyaku memastikan.
Lagi-lagi
Neti mengangguk hingga membuat mataku berkaca-kaca.
“Mulai
sekarang kamu jadi adikku. Dan kamu harus memanggilku, Kak Tata,’ pintaku kemudian.
Neti
memandangku lama sekali. Tiba-tiba setitik airmata membasahi pipinya. lalu ia
menangis terisak-isak. Aku yang tak tahu apa yang dipikirkannya merasa
kebingungan. Aku takut ada yang salah dengan perkataanku.
“Maaf
Neti, kalau kamu nggak mau memanggilku Kak Tata, nggak papa,” bujukku.
Neti
terus menangis sampai kami tiba di rumah.
Di
depan rumah aku turun dengan lesu. Aku merasa sangat bersalah pada Neti.
Mungkin ia tiba-tiba teringat kepada kakaknya. Saat kami masuk kamarpun ia
masih saja terisak. Padahal mama sudah ikut membujuknya. Kami lalu membiarkan
Neti berbaring di kamarnya. Mungkin ia masih butuh waktu untuk melupakan
kesedihannya karena kehilangan saudara serta kedua orangtuanya.
“Kak
Tata,” ada yang memanggilku saat aku hendak keluar kamar.
Aku
tertegun dan tidak mempercayai pendengaranku.
“Kak
Tata,” suara itu terdengar lagi.
Aku
menoleh dan melihat Neti sedang memandangku dengan wajah penuh airmata.
“Makasih, Kak Tata. Aku senang menjadi adik kak Tata,” ucap Neti pelan.
Aku
terdiam. Setelah begitu lama menanti kata-kata darinya akhirnya aku bisa
mendengarnya.
“Terima
kasih, Neti,” bisikku haru sambil menghampirinya dan memeluknya erat. Kini aku
bahagia. Sangat bahagia.
Sita anak keberapa? :)
BalasHapuskak,editannya ku pengen persis kayak laman nya kakak,itu gimana kak??
BalasHapus