Kamis, 03 Juli 2014

JOGJA, KOTA WISATA YANG RAMAH UNTUK DIFABEL

Taman Sari


JOGJAKARTA,
Setiap kali mendengar namanya disebut, selalu timbul keinginanku untuk ke sana. Bukan baru sekali atau 2 kali aku pergi ke Jogja, melainkan berkali-kali. Tapi selalu saja ada rasa rindu untuk kembali mengunjunginya.

Jogja memang sangat istimewa. Khususnya untuk keluargaku. Sebab, inilah kota  yang pertama kali aku kunjungi bersama keluargaku untuk berwisata. Papaku adalah seorang difabel. Papa penyandang disabilitas pengguna kursi roda. Dan dengan keterbatasan yang papa miliki, kami harus pintar-pintar memilih tempat wisata.

Awalnya sungguh sulit meyakinkan papa untuk traveling ke Jogja. Sebab papa pernah mendapat pengalaman pahit ketika kecil dulu. Waktu itu papa diajak ke Taman Sari yang letaknya tidak jauh dari Keraton Jogjakarta. Tapi papa hanya bisa menatap kolam serta bangunan lainnya dari kejauhan. Kursi roda yang papa gunakan tidak bisa menuruni tangga-tangga yang ada di sana. Sejak itu papa menjadi enggan pergi berjalan-jalan.

Tapi, berkat foto-foto yang ku perlihatkan dari beberapa tempat wisata di Jogjakarta, hati papa menjadi luluh. Untuk pertama kalinya kami bisa jalan-jalan sekeluarga. 

Aku dan mama langsung searching di internet. Kami mencari tempat menginap yang akses untuk pengguna kursi roda. Mama akhirnya menemukan sebuah guesthouse yang bukan hanya akses tapi juga nyaman, tenang, pemiliknya ramah dan harganya terjangkau.




Karena Jogja hanya sekitar 4 jam dari kota tempat aku tinggal, kami memutuskan naik travel. Dengan pertimbangan mobil tersebut bisa mengantar langsung ke tempat tujuan. Sayang, kami mendapat sopir yang kurang ramah. Ia keberatan mengantar sampai ke guesthouse yang letaknya dekat Malioboro dengan alasan jalanan macet karena akhir pekan. Jadilah kami diturunkan di daerah yang tidak kukenal. Aku, mama dan papa terpaksa mencari penginapan yang telah dipesan sambil berjalan kaki. Karena tempat tersebut tidak juga ditemukan, papa menjadi kesal. Papa memerintah kami untuk kembali pulang. Aku nyaris menangis. Tapi mama kemudian melihat sebuah kantor polisi di seberang jalan. Awalnya mama hanya ingin menanyakan letak guesthouse yang kami tuju. Tanpa disangka bapak polisi yang melayani malah menawarkan untuk mengantar kami. Melihat aku, mama dan papa datang dengan mobil polisi, para tamu serta pemilik guesthouse menyambut dengan curiga. Tapi begitu tahu ceritanya, mereka langsung tertawa lega.

Benteng Vredeburg

Paginya, setelah sarapan sup ayam lezat yang disediakan  pihak guesthouse, bertiga kami menuju Benteng Vredeburg. Sebelumnya papa sudah mendapat informasi dari pemilik penginapan kalau kami bisa menyewa becak. Becak tersebut akan membawa berkeliling mulai dari Benteng Vredeburg,  Keraton Jogjakarta, pusat Bakpia Pathuk dan berakhir di Malioboro dengan biaya 50 ribu untuk 1 becak. Mama memutuskan menyewa 2 becak. Satu untuk papa karena harus membawa kursi rodanya sementara satunya lagi untuk kami berdua.




Benteng Vredeburg adalah sebuah komplek bangunan yang kini difungsikan sebagai musium. Bangunan ini letaknya tidak jauh dari kawasan Malioboro dan sudah berusia lebih dari 2 abad. Setelah membeli tiket masuk yang harganya tergolong murah, kami disambut salah satu petugas yang dengan ramah menunjukkan arah diorama-diorama, tempat disimpannya berbagai benda bersejarah bangsa Indonesia. 

Kawasan tersebut sungguh akses. Sejak dari pintu gerbang hingga bagian dalamnya semua bisa dilewati papa tanpa bantuan. Jalanannya lebar, rata, nyaman bahkan terkesan bersih. Pengguna kursi roda tidak akan menyesal mengunjungi benteng ini.  




Jika ingin mengetahui bagaimana sejarah perjuangan bangsa Indonesia dari sebelum kemerdekaan hingga masa orde baru, Benteng Vredeburg adalah salah satu tempat yang wajib dikunjungi. Semua kisah sejarah tersebut bisa kita saksikan melalui ratusan diorama yang menempel di dinding serta dilapisi kaca sebagai pelindung. Selain itu terdapat juga berbagai benda bersejarah lainnya seperti foto, lukisan, meriam, patung dan masih banyak banyak yang lainnya.




Selain 4 gedung diorama yang menjadi tujuan utama para pengunjung, terdapat juga sebuah perpustakaan dengan koleksi buku yang cukup banyak. Petugasnya dengan ramah melayani kami yang bertanya seputar sejarah Benteng Vredeburg, setelah sebelumnya meminta mama untuk mengisi buku tamu. Ketika hendak meninggalkan perpustakaan yang juga akses untuk difabel, salah seorang petugas memberi kami sebuah buku yang berisi sejarah tempat ini. 




Selesai mengunjungi perpustakaan kami memutuskan untuk keluar. Di tempat parkir masih menunggu becak-becak yang kami sewa. Kini kami akan menuju Keraton Jogjakarta.

Keraton Jogjakarta

Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, sesungguhnya merupakan tempat tinggal raja dan keluarganya. Namun kawasan ini juga menjadi musium hidup kebudayaan jawa, khususnya Daerah istimewa Jogjakarta. Di sini kita bisa menyaksikan secara langsung bagaimana budaya Jawa dikembangkan, hidup dan terus dilestarikan.




Ada 2 pintu untuk memasuki kawasan ini yakni, pintu Tepas Keprajuritan (depan alun-alun utara) dan Tepas Pariwisata (Regol Kebel). Karena kurangnya informasi, kami berhenti di pintu pertama. Baru saja kami menyusuri halamannya ketika papa melihat jajaran tangan yang amat tinggi. Wajah papa langsung kecut. Tanpa berkata apa-apa papa berbalik dan kembali menuju pintu masuk tadi. Di belakangnya, aku dan mama terpaksa ikut menyusul.

Sedih rasanya karena kami gagal melihat bagian dalam keraton dari pintu Tepas Keprajuritan. Bahkan karena terlalu kecewa papa sempat mengajak kami pulang. Namun salah satu petugas yang melihat kami kembali keluar memberi tahu kalau ada sebuah pintu masuk lain. Dari tempat tersebut, keraton bisa diakses untuk pengguna kursi roda.

Meski agak was-was, papa akhirnya setuju untuk pergi ke pintu kedua. Namun di loket penjualan tiket, mama memastikan terlebih dahulu. Syukur, tempat ini akses. Bahkan terdapat lajur khusus untuk pengguna kursi roda di sebelah tangga.




Ada banyak hal yang bisa kita saksikan dalam keraton ini. Diantaranya melihat secara langsung aktivitas abdi dalem yang tengah menjalankan tugasnya, mengamati berbagai koleksi seperti foto, miniatur, replika, senjata, keramik, barang pecah belah serta banyak lainnya. Juga menonton pertunjukan seni yang berbeda setiap harinya.




Sikap para abdi dalem juga sangat bersahaja. Dengan ramah mereka memberi informasi yang dibutuhkan. Tak nampak sikap angkuh meski mereka menjadi abdi di sebuah keraton. Bahasa Jawa yang digunakan juga sangat halus. Sungguh senang bisa mendengar bahasa tersebut. Karena terus terang saja aku tidak terlalu menguasai bahasa ini. Sayang, sekali ya. 


Butuh beberapa jam untuk menikmati benda-benda yang dipamerkan. Baru menjelang tutup, kami selesai melihat berbagai koleksinya.  Itupun terburu-buru sebab perut sudah berbunyi. Papa juga sudah tampak lelah karena terus berkeliling. Akhirnya kami terpaksa memupus keinginan untuk pergi ke pusat Bakpia Pathuk. Aku, mama dan papa memilih langsung menuju Malioboro.

Malioboro

Inilah kawasan yang sayang sekali dilewatkan saat kita mengunjungi Jogjakarta. Tempat yang  kesohor hingga seantero nusantara ini, dipadati oleh  pedagang yang menjual aneka barang dengan harga yang cukup murah. Berbagai aksesoris, baju, tas, dompet, sepatu serta lainnya banyak dijual di sini. Selain itu masih ada deretan toko-toko, restoran juga hotel-hotel dan penginapan yang bertebaran di kawasan ini. Jadi pantas saja, bila Malioboro selalu diserbu oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. 



Kawasan ini juga sangat akses untuk pengguna kursi roda. Jalanan di depan para pedagang cukup lebar untuk dilewati. Selain itu rasa peduli dari pedagang serta pengunjung amat tinggi. Mereka tidak segan memberi jalan saat papa hendak lewat. Malah ketika kantong belanja mama pecah, seorang pengemudi becak berlari-lari mengejar untuk mengembalikan barang yang tercecer. Sementara salah satu pedagang dengan ramah memberi sebuah kantong pengganti.




Oya, jangan membeli tanpa menawar di sini. Karena para pedagang biasanya menawarkan dagangannya dengan harga lebih tinggi. Berkat mama yang piawai menawar, aku bisa membeli rok batik dengan harga murah yang langsung aku pakai saat itu juga.




Hari sudah menjelang sore saat kami memutuskan untuk pulang. Meski badan terasa capek, terlebih lagi mama yang terus mendorong kursi roda papa, namun kami merasa puas. 

Saat menaiki becak yang disewa, kulihat senyuman di bibir papa. Aku dan mama pun ikut tersenyum. Suatu hari nanti kami ingin mengunjungi Jogja kembali. Sebab inilah kota pertama yang menerima papa dengan ramah.











2 komentar:

  1. Terima kasih sudah mau berbagi cerita tempat wisata yang akses bagi para difabel. Kebetulan saya juga seorang difabel dan sedang cari tempat wisata yang ramah difabel di jogja. Btw, selain tempat di atas, adakah rekomendasi lainnya?

    BalasHapus