Jumat, 02 Oktober 2015

MENDAKI GUNUNG PRAU, MEWUJUDKAN IMPIAN MASA KECILKU


"Mengapa harus jauh-jauh jika hanya ingin melihat sang surya terbit? 
Bukankah setiap pagi mentari akan selalu datang dimanapun kita berada?
Sebenarnya apa yang kamu cari di sana?
Pengakuan?
Penaklukan?
Atau hanya sekedar ikut-ikutan?"

Sebuah pesan mampir di inbox facebookku hari itu. Sebelumnya aku sempat mengunggah foto-fotoku saat menikmati matahari terbit di Gunung Prau. Sungguh tak pernah terlintas jika akan mendapat tanggapan demikian.

Aku tidak hendak mencari pengakuan. Tidak pula ingin menaklukkan sesuatu. Pun bukan sekedar ikut-ikutan. Aku hanya ingin mewujudkan mimpiku untuk lebih dekat dengan alam. Mencintainya, memahaminya, berbicara padanya hingga perasaan untuk terus menjaga lingkungan semakin tertanam dalam jiwa.

Mentari pagi merekah di ufuk timur puncak Prau

Keinginan untuk mendaki sudah muncul sejak kecil. Bermula dari kebiasaanku duduk-duduk di ambang jendela kamar terpukau oleh Gunung Sindoro serta Sumbing yang menjulang tinggi hingga nyaris menyentuh langit. Hampir tiap malam aku mimpi terbang ke atas gunung. Mamaku tersenyum dan berkata aku tak mungkin bisa terbang. Puncak gunung itu hanya bisa dijangkau dengan kedua belah kakiku. Itupun bukan saat itu tetapi kelak ketika aku telah dewasa dan bisa menjaga diri sendiri.

Tahun demi tahun berlalu. Bukannya surut, keinginan untuk mendaki semakin tumbuh subur dalam hatiku. Sayangnya tak mudah mendapat ijin dari orangtuaku. Bukan mereka merendahkan kekuatan fisikku. Sejak kecil aku dan mama sudah sering berpetualang menjelajahi alam sekitar. Orangtuaku hanya khawatir aku belum bisa menjaga diri. Sebab mendaki gunung bukan sekedar melangkahkan kaki menuju puncak. Namun kita juga harus memahami medan dan mengerti arah. Mendaki juga bukan untuk selfie dan wefie yang berlebihan hingga melupakan keselamatan diri sendiri serta teman. Akan tetapi aku terus menyakinkan orangtuaku. Dan syukurlah mama akhirnya mengijinkan aku mendaki.

Pendaki memadati puncak Gunung Prau

Mendaki Gunung Prau - Dieng

Semangatku langsung membumbung tinggi. Aku kemudian mengajak sahabat-sahabatku untuk mendaki bersama. Tetapi kami sama sekali tidak memiliki pengalaman muncak. Beruntung sahabatku Kuuniy, memiliki saudara yang sudah sering mendaki bernama Mas Is. Untuk kami yang masih pemula Mas Is menyarankan gunung yang relatif mudah didaki, yakni Gunung Prau yang kebetulan berada tidak jauh dari tempat kami tinggal di Wonosobo.

Gunung Prau sendiri terletak di Dieng dan menjadi batas 3 kabupaten yakni Wonosobo, Batang dan Kendal. Tingginya yang hanya 2.565 meter di atas permukaaan laut atau 8.415 kaki ini menyebabkan puncaknya sering menjadi tujuan para pemula yang ingin menjajal kemampuan mendakinya untuk pertama kali.

Dari rencana berdua puluh akhirnya menyusut hanya tinggal enam orang yang akan mendaki. Beberapa temanku tidak mendapatkan ijin dari orangtua sementara teman-teman Mas Is mendadak berhalangan. Meski begitu semangat kami tidak lantas pupus. Beberapa hari sebelum berangkat Mas Is mengajak kami berkumpul, membahas berbagai hal mulai dari perlengkapan yang wajib dibawa sampai yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama mendaki.


Fajar menyinsing di puncak Prau

Perlengkapan Yang Perlu Dibawa Saat Mendaki 

Meski hanya semalam ternyata kami harus menyiapkan berbagai perlengkapan yang dibutuhkan saat mendaki. Tidak seperti tempat wisata lain yang segalanya bisa didapat dengan mudah, di puncak gunung semua serba terbatas. Jadi sebagai antisipasi kami harus membawanya dari bawah. Selain itu juga demi menjaga stamina dan keselamatan diri serta lingkungan.

Sebagai pemimpin Mas Is benar-benar menekankan kami untuk mencatat segala perlengkapan agar tidak tertinggal. Sebab jika hal itu sampai terjadi akan berakibat buruk baik untuk diri sendiri maupun tim.

Dan perlengkapan yang dibawa adalah sebagai berikut :
  • Tenda 
  • Matras
  • Kantong tidur 
  • Carrier atau tas ransel
  • Peralatan memasak (kompor dan sebagainya)
  • Peralatan makan dan minum 
  • Jaket gunung 
  • Baju untuk mendaki (sebaiknya yang ringan, mudah menyerap keringat dan tidak gampang sobek)
  • Sepatu gunung jika tidak ada pakailah sepatu yang nyaman dengan sol yang tidak licin 
  • Kaos tangan dan kaos kaki tebal
  • Senter atau head lamp berikut baterei cadangan
  • Masker atau bandana untuk menutup hidung dan mulut karena saat musim kemarau banyak debu
  • Kacamata karena banyak debu saat musim kemarau
  • Jas hujan bila musim hujan
  • Topi dan jika diperlukan bisa membawa pelindung telinga sebab di puncak anginnya cukup kencang
  • Tissue basah
  • Air yang cukup karena di Gunung Prau tidak terdapat sumber air 
  • Makanan dan minuman (atas saran Mas Is kami diminta membawa madu)  
  • Peralatan sholat
  • Obat-obatan pribadi
  • Kamera
  • Handphone
  • Powerbank
  • Baju ganti 
  • Uang 
  • Kartu identitas
  • Kantong untuk menampung sampah 

Menuju Patak Banteng

Jalur Menuju Puncak Gunung Prau

Untuk mencapai puncak Gunung Prau ada 3 jalur pendakian yakni :
  • Patak Banteng (waktu tempuh sekitar 2,5 - 3 jam)
  • Dieng Kulon (waktu tempuh sekitar 5 - 6 jam)
  • Kenjuran (waktu tempuh + 7 jam) 
Meski ada 3 tetapi jalur paling ramai dan menjadi favorit para pendaki ialah Patak Banteng. Walau sudah tahu medan Patak Banteng terjal dan menanjak terutama buat aku dan teman-teman yang baru pertamakali mendaki tetapi kami tetap ingin menjajal jalur tersebut karena pertimbangan waktu.

Akhirnya Sabtu, 29 Agustus 2015 aku dan kelima teman sepakat berkumpul di perempatan Kauman tempat mikrobus menuju Dieng biasa berhenti. Janji bertemu pukul 14.00 terpaksa mundur karena beberapa dari kami masih harus bersiap-siap. Jadi baru setengah 4 semua tiba di perempatan Kauman dan bergegas menuju mikrobus yang tengah ngetem di tepi jalan. Setelah menunggu penumpang hingga penuh, akhirnya kendaraanpun berangkat menuju Patak Banteng.

Jalur pendakian ke Gunung Prau

Menuju Desa Patak Banteng 

Desa Patak Banteng sangat mudah dicapai baik menggunakan kendaraan pribadi maupun umum. Jika memakai kendaraan pribadi ambillah jalur ke Dieng. Bila tidak tahu jalan kita bisa melihat papan petunjuk atau bertanya pada masyarakat sekitar. Para pendaki juga tidak perlu risau sebab kendaraan bisa dititipkan di basecamp Patak Banteng tentunya dengan membayar tarif yang telah ditentukan.

Untuk pendaki yang menggunakan transportasi umum ke Patak Banteng bisa menggunakan :

  • Pengguna mikrobus dari Purworejo bisa langsung minta berhenti di perempatan Kauman - Wonosobo dan tinggal berganti mikrobus yang menuju Dieng serta turun di Patak Banteng (di Pos Pendakian Gunung Prau - Balai Desa Patak Banteng).
  • Pendaki yang naik bis dari Semarang atau Magelang setiba di terminal Mendolo tinggal naik angkot jurusan Kertek - Wonosobo (angkot kuning dengan strip merah di bagian bawahnya menunggunya di tepi jalan raya karena angkot ini tidak masuk terminal) lalu turun di perempatan Kauman. Ongkos dari terminal ke perempatan Kauman Rp. 3.000,- / orang.
  • Sementara penumpang bis dari Purwokerto, Jakarta atau Bandung bisa turun di terminal Mendolo (tetapi nanti terpaksa kembali lagi ke Wonosobo karena terminal berada di luar kota) lalu naik angkot jurusan Kertek - Wonosobo dan turun di perempatan Kauman dengan ongkos Rp. 3.000,-/orang. Dan tinggal naik mikrobus jurusan Dieng serta turun di Patak Banteng tepat di depan Balai Desa. 
  • Penumpang bis dari Purwokerto, Jakarta atau Bandung bisa juga turun di perempatan Sapen (lampu merah dekat Kenteng) tempat bis jurusan Dieng biasa ngetem. Hanya di sini bis sering berhenti cukup lama. Jika tidak ingin menunggu naik saja angkot jurusan Sawangan - Wonosobo (angkot kuning dengan strip hitam di bagian bawah) atau angkot jurusan Leksono - Wonosobo (angkot kuning dengan strip ungu di bagian bawah). Ongkos perorang Rp. 2.500,- lalu turun di perempatan Kauman dan tinggal ganti mikrobus jurusan Dieng.

Ketentuan denda jika melanggar peraturan

Ketika tahu kami akan turun di Patak Banteng dan hendak mendaki Gunung Prau, kondektur mikrobus bertanya kami datang darimana. Saat Mas Is menjawab dari Wonosobo kami ditarik ongkos 13.000/orang (dalam perjalanan pulang kami hanya ditarik Rp. 11.000,-/orang). Dan bersamaan dengan kami ada beberapa pendaki lain yang berasal dari luar kota. Ternyata untuk mereka ongkosnya berbeda. Kondektur menarik uang sebesar Rp. 20.000,- untuk tiap orangnya. Wah ... begitu rupanya. Jadi buat teman-teman dari luar kota sebaiknya saat naik mikrobus dan hendak mendaki ke Gunung Prau kalian mengaku saja sebagai warga  kota Wonosobo. Biar lebih menghemat ongkos.

Perjalananku dari Wonosobo ke Patak Banteng tidak terlalu lama. Belum 1 jam kami telah sampai di Desa Patak Banteng. Di seberang jalan, di depan Balai Desa, telah tampak papan bertuliskan POS PENDAKIAN GUNUNG PRAU 2.565 mdpl PATAK BANTENG. Aku tersenyum. Bahagia karena impianku mendaki gunung sebentar lagi akan terwujud.

Di basecamp Patak Banteng

Di Basecamp Patak Banteng

Basecamp pendakian Patak Banteng bangunannya bercat hijau dengan poster bertuliskan BASECAMP PENDAKIAN GUNUNG PRAU 2.565 mdpl yang terpampang jelas. Ketika kami sampai tempat tersebut telah disesaki pendaki. Halaman basecamp juga tak kalah penuh oleh sepeda motor. Dari plat yang terlihat mereka bukan saja datang dari Wonosobo melainkan banyak pula kendaraan luar kota. Melihat antusias para pendaki membuat semangatku kian terlecut.

Di tempat ini kita harus melakukan proses registrasi. Karena banyak yang hendak naik gunung kami terpaksa antri. Kita wajib membeli tiket pendakian sebesar Rp. 10.000,-/orang serta mendaftarkan nama-nama rombongan yang hendak mendaki juga memberikan nomor handphone salah satu anggota. Setelah itu kami diberi tiket sebagai tanda bukti telah membayar juga peta dan ketentuan denda jika melanggar aturan di kawasan Gunung Prau.

Untuk pendaki yang membawa kendaraan pribadi bisa menitipkannya di sini dengan membayar biaya parkir. Begitu pula helm bisa disimpan di basecamp. Dari anjuran petugas yang sempat kudengar sebaiknya helm seluruh anggota rombongan disatukan agar tidak tercecer.

Jika merasa tidak kuat mendaki sambil membawa carrier yang berat kita bisa menyewa jasa porter. Biasanya begitu turun dari bis ada orang yang menawarkan jasa tersebut. Waktu itu aku sempat bertanya biaya jasa porter besarnya Rp. 150.000,- sehari. Selain itu kita bisa naik ojek dengan harga Rp. 10.000,- hingga Pos I. Di basecamp juga kita bisa menyewa tenda. Sayang aku tidak sempat bertanya berapa harga sewanya.


Menuju Sikut Dewo (Pos 1)


Dari Basecamp ----- Sikut Dewo (Pos I) ----- Canggal Walangan (Pos II)

Selesai registrasi kami memeriksa kembali perlengkapan yang dibawa. Setelah memastikan tak ada yang terlupa Mas Is langsung mengajak mendaki karena jam sudah menunjukkan pukul 5 petang.

Kami lalu mengikuti para pendaki yang telah berangkat menuju puncak Gunung Prau. Banyak pula rombongan lain yang menyusul di belakang. Karena baru pertama kali naik gunung (selain Mas Is tentunya) semua sepakat untuk berjalan santai. Selain itu aku juga ingin lebih memperhatikan sekeliling serta memahami arah.

Awal perjalanan kami melewati perkampungan sembari menikmati pohon-pohon carica (pepaya khas Dieng) yang tengah berbuah di sepanjang jalan. Tampak pula ladang-ladang yang sebagian belum ditanami. Jalanan di desa ini berupa semen dan cukup lebar sehingga masih bisa dilalui kendaraan bermotor.

Tak berapa lama sampailah aku di depan anak tangga dari semen yang dijuluki Ondo Sewu atau tangga seribu. Stamina kami masih prima jadi tenaga masih penuh ketika melewati anak tangga yang seakan tak ada habisnya tersebut. Di kanan dan kiri ondo sewu tampak berjajar rumah-rumah penduduk. Akhirnya anak tangga berujung di jalanan bebatuan yang lebar dan rapi. Debu mulai beterbangan karena tepat di tengah-tengah musim kemarau panjang. Beruntung aku membawa masker hingga bisa melindungi hidung dan mulut dari serbuan debu.

Jalur batu yang terus menanjak dengan latar belakang bunga-bunga putih yang bermekaran

Di jalanan berbatu nan rapi dan lebar ini aku banyak menemukan bunga-bunga berwarna putih yang tengah mekar di atas tebing. Sayang kami berenam tidak mengetahui namanya. Aku juga sempat menemukan tanaman terong belanda yang belum berbuah. Meski musim kemarau tetapi tanaman tetap menghijau. Hati dan pikiran menjadi segar kala melihatnya. Sore itu amat cerah. Matahari bersinar terik. Udara juga belum terasa dingin meski berada di ketinggian. Jadi jaket yang dibawa belum perlu digunakan.

Selama mendaki kami sering didahului oleh rombongan lain. Untuk pertama kalinya aku merasakan kebersamaan dan keakraban. Para pendaki yang tidak kami kenal selalu menyapa dengan ramah dan sopan serta bertanya asal kota kami. Mereka juga kerap memberi semangat hingga segala penat terlupakan.

Menjelang senja dari lereng gunung

Beberapa kali kami sempat berhenti untuk mengambil gambar. Sayang kameraku sempat terjatuh 2 kali karena kurang hati-hati saat memegang. Beruntung masih bisa berfungsi. Hanya tutup batereinya patah sehingga harus ditekan agar bisa dihidupkan. Akhirnya aku terpaksa mengabadikan pemandangan sekitar dengan handphone sebab terlalu repot menekan tutup batereinya terus-menerus. Alhasil gambar yang diambil jadi kurang maksimal.

Setelah itu jalanan yang ditempuh berubah menjadi jalur tanah berupa anak tangga yang menanjak serta menyempit juga berdebu. Di beberapa tempat terdapat pagar bambu untuk berpegangan. Saat menuju Pos II aku bertemu warung-warung kecil yang menjual berbagai makanan. Karena bekal kami belum berkurang jadi tak ada keinginan untuk jajan. Di sini terdapat WC dengan tarif Rp. 3.000,-. Tak berapa lama aku melihat papan tanda Pos II. Rupanya kami telah tiba di Canggal Walangan.

Di Pos II ini ponselku berbunyi. Aku melihat pesan yang masuk tanpa sempat membalasnya. Kedua kartu yang kupakai yakni dari operator T dan X sinyalnya tampak penuh. Karena kami belum lelah dan yakin semua dalam keadaan baik, kamipun meneruskan langkah menuju Pos III.

Jalan setapak dengan pegangan yang sangat membantu

Menuju Cacingan (Pos III)

Senja mulai menyeruak. Angkasa perlahan kehilangan cahayanya. Satu-persatu mulai mengeluarkan senter. Sinarnya menerangi sekelilingku yang berupa jajaran pohon pinus. Perjalanan mendaki mulai memasuki kawasan hutan.

Meski musim kemarau jalanan tanah terasa licin. Beberapa kali aku terpeleset. Salahku juga memakai sepatu olahraga yang solnya licin gara-gara tidak memiliki sepatu gunung. Terpaksa aku berjalan dengan hati-hati. Beruntung rombongan kami bertemu dengan pendaki lain yang tanpa segan-segan langsung membantu. Mereka banyak yang memakai head lamp hingga jalanan nampak lebih terang dan jelas.

Malam di puncak Prau

Cukup lama juga kami berjalan dalam hutan. Beberapa kali kakiku tersandung akar pohon yang menghalangi jalan. Selama menuju Pos III kecepatan langkah kami mulai turun. Bukan cuma gelap tetapi jalurpun sangat terjal hingga aku dan teman-teman harus lebih hati-hati.

Begitu tiba di Pos III kami memutuskan untuk beristirahat sejenak. Saat melihat jam tangan waktu menunjukkan pukul 18:10. Aku sempat memeriksa ponsel dan sinyal dari operator X menghilang. Syukurlah sinyal operator T masih bisa tertangkap. Selama istirahat aku mendapat informasi dari pendaki senior yang sama-sama tengah berhenti. Agar badan tidak kelelahan sebaiknya kami tidak duduk atau melepas carrier. Akhirnya kami hanya berdiri sambil bersandar pada batang pohon. Selesai minum dan membalas sms yang masuk, kamipun kembali melanjutkan perjalanan.


Angkasa raya dari atas gunung

Tiba Di Area Camping 

Ada untungnya kami mendaki dalam gelap karena pandangan terus tertuju ke bawah, ke jalanan yang harus dilewati. Sehingga aku tak sempat menatap jauh ke depan. Sebab medan yang kami lewati ternyata amat terjal. Setelah mendaki cukup lama samar-samar terdengar suara percakapan juga terlihat sinar-sinar lampu. Ternyata kami telah tiba di area kemping. Aku tertegun melihat sesaknya tempat tersebut. Puluhan tenda telah berdiri hingga kami berenam terpaksa mencari lahan yang masih kosong untuk memasang tenda.

Saat melewati tenda demi tenda terdengar percakapan-percakapan, tawa, canda bahkan orang mengaji. Suaranya yang jernih membuat perasaanku tenang. Aku langsung mengucap syukur karena tiba dengan selamat di tempat ini. Ketika melihat jam tangan, waktu menunjukkan pukul 19:23 WIB. Pendakian kami tidak sampai 3 jam lamanya.

Tenda-tenda yang memadati area kemping

Setelah berkeliling dan menemukan tempat kosong tenda segera didirikan. Badan mulai menggigil hingga aku mengenakan jaket yang sejak tadi hanya disampirkan di bahu. Perutpun tak ketinggalan mulai berteriak minta diisi. Kami mengumpulkan mie instan yang dibawa dan merebusnya. Tak ketinggalan secangkir teh hangat untuk masing-masing orang. Karena di puncak angin bertiup cukup kencang dan membuat debu berterbangan kami memutuskan makan di dalam tenda yang tertutup rapat.

Begitu perut kenyang dan badan hangat aku serta teman-teman memutuskan untuk tidur. Meski tinggal di Wonosobo yang udaranya relatif dingin namun puncak gunung hawanya jauh lebih dingin. Tubuhku terus menggigil karena tidak tahan dingin. Beruntung ada kantong tidur hingga aku bisa membungkus diri dengan nyaman. Tapi belum sempat memejamkan mata salah seorang teman mendadak sakit perut dan ingin buang air besar. Jadi aku bangkit kembali untuk mengantarnya.

Menatap semburat jingga di puncak gunung

Tetapi buang air besar di atas gunung yang tidak menyediakan toilet bukan perkara mudah. Terlebih tak ada sungai apalagi sumber air. Aku dan teman-teman terpaksa mencari tempat yang benar-benar sunyi serta terpencil. Jauh dari tenda juga dari orang-orang yang berkemah sambil membawa air dalam botol serta tissue basah juga plastik untuk menampung sampah. Mas Is menyarankan untuk membawa air mineral sebanyak 1 liter/orang. Beruntung aku dan yang lainnya membawa lebih, khusus menghadapi saat darurat seperti ini.

Karena tidak mau meninggalkan jejak saat buang air besar temanku menggali tanah agar kotorannya bisa ditutupi. Setelah membersihkan diri dengan air mineral  juga tissue basah, botol bekas dan tissuenya lantas dimasukkan ke dalam plastik dan diikat erat-erat agar tidak berbau. Nantinya akan kami buang jika sudah kembali ke bawah. Bekas kotoran di tanah juga ditutup rapat supaya tidak mengganggu orang yang kebetulan melewati tempat tersebut.

Menjelang fajar di puncak Gunung Prau

Begitu tiba kembali di tenda rasa ngantuk langsung menyerang. Sambil berbaring di dalam kantong tidur mataku mulai terpejam. Sayangnya suara-suara dari tenda sebelah yang sangat dekat begitu lantang, hingga beberapa kali aku tersentak bangun. Barulah sekitar pukul 12 malam suasana berubah sunyi.

Sebelum tidur aku mengecek ponselku. Di puncak Gunung Prau ini yang tertangkap hanya sinyal dari operator X itupun sesekali hilang timbul. Sedangkan sinyal dari operator T sama sekali tidak ada. Sementara handphone teman-teman yang memakai kartu operator lain benar-benar tak tertangkap sinyalnya. Setelah mengirim sms pada orangtua mengabarkan keadaanku, akupun segera tertidur.


Hamparan  awan bagaikan lautan

Tepat jam 4 pagi alarm handphoneku berbunyi. Aku dan teman-teman segera bangun karena tak ingin ketinggalan menyaksikan terbitnya matahari. Begitu keluar tenda angin kencang langsung menyerbu. Aku terpaksa kembali ke tenda untuk mengambil pelindung telinga. Lumayan untuk mengurangi serbuan hawa dingin yang menerpa telinga. Kami kemudian mencari lokasi yang paling strategis untuk melihat matahari terbit.

Meski baru jam 4 pagi namun area untuk melihat matahari terbit sudah dipenuhi para pendaki. Mereka mulai mengambil gambar baik diri sendiri maupun alam sekitar. Akupun tak mau ketinggalan ikut mengabadikan sekelilingku.


Pemandangan di atas Gunung Prau

Tak ingin kehilangan detik-detik yang telah dinanti kami langsung berjongkok dan menatap ke ufuk timur. Sungguh, tak ada kata yang tepat selain ucapan syukur berkali-kali kala memandang semburat jingga perlahan menghiasai angkasa. Aku begitu bahagia diberi kesempatan mereguk kesempatan tak terlupakan ini. Menjadi saksi sang surya terbit di puncak gunung.

Airmata menggenangi sudut mataku. Akhirnya impian masa kecilku untuk mendaki gunung terwujud. Namun ini bukanlah akhir. Justru Gunung Prau adalah awal mimpi besarku. Selepas ini aku ingin mendaki gunung-gunung lain yang ada di seantero negeri. Mengumpulkan satu-persatu keindahan serta mematrinya dalam-dalam pada jiwaku. Hingga rasa cinta terhadap alam sekitar akan terus mengaliri urat nadiku.

Mengagumi alam sekitar

Begitu mentari sempurna bercahaya di ufuk timur satu-persatu pendaki kembali ke tendanya. Kami juga memutuskan untuk sarapan. Lagi-lagi membuat mie instan tapi kali ini minumannya kopi hangat. Ketika perut selesai diisi kami segera membongkar tenda sebab hari Senin aku dan teman-teman sudah harus beraktivitas kembali. Jam setengah 8 pagi semua telah selesai dikemas rapi. Sampah-sampah juga disimpan dalam kantong untuk dibawa turun agar tidak mengotori gunung.

Bersamaan dengan kepulangan kami, pendaki lain juga ikut turun. Area kemping yang tadinya sesak dengan puluhan tenda perlahan mulai senyap. Sayangnya di bekas tenda yang dibongkar pendaki lain aku menemukan potongan-potongan kertas yang sepertinya sengaja ditinggalkan. Entah apa maksud mereka membuang kertas dengan tulisan-tulisan yang salah satunya berbunyi :

"Rxxx dan Rxxx merajut cinta di negeri di atas awan"

Geli bercampur geram. Padahal sudah jelas ada tulisan yang terpampang untuk membawa turun sampah namun kedua sejoli yang tengah dimabuk cinta tersebut malah sengaja menebarkan sampahnya di tempat ini. Kesal, kuremas-remas kertas tersebut dan langsung memasukkannya ke kantong sampah bersama kertas-kertas lain agar bisa kubawa turun. Aku muak pada pesan-pesan yang mengotori puncak gunung yang seharusnya kita jaga.

Papan peringatan di area kemping

Namun perasaan kesalku langsung terlupakan begitu menatap hamparan bunga Daisy yang tengah mekar juga telaga di kejauhan saat turun gunung. Pos demi pos dengan cepat aku lewati tanpa kesulitan. Di Pos I tampak beberapa sepeda motor. Mereka adalah tukang ojek yang menunggu para pendaki.

Perjalanan pulang ternyata lebih cepat dari mendaki. Hanya dalam waktu 2 jam aku dan teman-teman sudah sampai di basecamp kembali. Sebelum pulang menggunakan mikrobus aku mampir ke toilet yang ada di warung-warung sekitar basecamp. Untuk mempergunakan tempat itu kita perlu membayar sebesar  Rp. 1.000,-.

Begitu selesai dari toilet kami ingin segera pulang. Jadi tanpa pikir panjang aku dan teman-teman naik mikrobus jurusan Wonosobo yang masih kosong dan tengah parkir di tepi jalan raya. Kondekturnya segera meminta ongkos Rp. 11.000,-/orang meski kendaraan belum berangkat. Naasnya mikrobus tersebut tidak juga jalan hingga 2 jam lamanya. Kami juga tak bisa pindah mikrobus karena ongkosnya sudah dibawa kondektur. Ini jadi pelajaran. Lain kali kami harus mencari mikrobus yang sudah siap berangkat.

Namun pengalaman pertama mendaki ini amat membekas di hati. Dan rencana kedua aku akan mendaki Pakuwojo bila tempat tersebut telah menghijau. Semoga impianku segera mewujud.

Bunga Daisy yang bermekaran

Catatan
  • Sebelum mendaki cari informasi dahulu apakah jalur pendakian Gunung Prau masih dibuka. Sebab di waktu tertentu kawasan ini ditutup (biasanya setiap tanggal 05 Januari - 05 April)
  • Persiapkan fisik dan perlengkapan sebelum berangkat dengan cermat
  • Taati semua peraturan selama berada di kawasan Gunung Prau demi keselamatan diri dan lingkungan
  • Bawa turun semua sampah dan bantu memungut sampah yang ditinggalkan pendaki lain agar kawasan Gunung Prau terus terjaga kebersihannya
  • Jika menggunakan ransel biasa sebaiknya barang yang dibawa dibungkus dalam kantong plastik serta ditutup rapat agar terhindar dari air terutama bila musim hujan
  • Jalur pendakian lewat Patak Banteng tidak tersedia air jadi bawalah air yang cukup
  • Pakailah sepatu yang solnya tidak mudah selip. Berdasarkan pengalamanku saat musim kemarau tanah yang dipijak tetap licin 
  • Jangan membuat api unggun di kawasan Gunung Prau. Jika tidak membawa kompor lebih baik tidak menginap. Sebab beberapa waktu lalu sempat terjadi kebakaran gara-gara api unggun
  • Sebaiknya tidak merokok di kawasan Gunung Prau. Jika terpaksa merokok puntungnya harus dibawa turun kembali agar tidak menyebabkan kebakaran
  • Jika ada anggota rombongan yang lebih lemah sebaiknya yang kuat tidak berjalan lebih cepat apalagi lari. Tapi semua harus saling membantu
  • Sapa dan ajaklah ngobrol pendaki lain dengan sopan dan ramah karena bukan tidak mungkin kita membutuhkan bantuan mereka

Telaga yang tampak dalam perjalanan pulang




7 komentar:

  1. nice post! :D

    Jadi pingin mendaki gunung juga nih:3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih. Ayo coba naik Gunung Prau dulu. Buat pemula nggak terlalu berat kok

      Hapus
  2. keren nih..pengen naik gunung lagi jadinya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya keren apalagi pemandangannya. Indah banget. Ayo kak coba ke Gunung Prau

      Hapus
  3. pengen naik gunung Pakuwojo? aq sdh pernah, keindahannyapun tdk kalah dgn gunung Prau, tp trecknya lebih menantang, klo lewat jalur Tieng, klo lewat jalur Parikesit agak landai

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kak. Insyaallah sehabis UN pengen coba naik pakuwojo. Semoga waktu itu sudah menghijau. Wah, makasih banyak infonya kak

      Hapus
  4. Cara menulisnya Bagus pengamatanya Jeli belajar nulis dimana??Kereeen

    BalasHapus